Memahami Diskursus mengenai Ganja untuk Kebutuhan Medis

Perkiraan Waktu Membaca: 5 menit
5
(2)

Dalam diskursus mengenai ganja untuk kebutuhan medis, masyarakat perlu mengetahui bahwa secara hukum dan berdasarkan UU Narkotika, sebenarnya narkotika merupakan obat, namun karena terdapat efek samping jika tidak digunakan dengan standar pengobatan yang tepat maka dari itu diaturlah golongan-golongan narkotika.

Golongan I, adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan:

Golongan II, adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan

Butuh memiliki tempat usaha yang resmi dan prestisius? Anda dapat menggunakan virtual office atau kantor virtual sebagai tempat bisnis resmi anda. Tersedia di 5 lokasi di Jakarta, segera temukan kantor virtual yang cocok untuk bisnis anda

Segera minta penawaran terbaik di BukaUsaha by NgertiHukum.ID

Golongan III, adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yg menjadi lampiran UU, sejak dahulu hingga yg terakhir di 2021, ganja dan seluruh produk turunannya ditempatkan sebagai narkotika golongan 1 yang hanya dapat digunakan untuk riset dan tidak dapat untuk terapi kesehatan.

Akibatnya, pasien seperti anak dari ibu santi yang menderita cerebal palsy tidak dapat menggunakan ganja untuk pengobatan, bahkan dalam kasus Fidelis Arie, yang memberikan ganja untuk pengobatan istrinya harus berakhir pada proses hukum.

Peristiwa yang dialami ibu Santi dan ibu Dwi Pertiwi yang memperjuangkan pengobatan anaknya serta Fidelis yang membantu pengobatan istrinya hingga harus berhadapan dengan hukum merupakan masalah kemanusiaan yang harus dicarikan jalan keluarnya.

Kita tidak boleh berpandangan konservatif dalam merumuskan kebijakan narkotika. Jika terdapat penelitian yg menunjukkan turunan dari tanaman ganja dapat digunakan sebagai pengobatan maka kita harus memiliki pikiran terbuka untuk merumuskan perubahan kebijakan. Selama ini ketika ada yang mengangkat isu tentang ganja untuk kebutuhan medis seringkali langsung mendapatkan stigma dan diberikan berbagai macam tuduhan.

Di tingkat internasional, Expert Committee on Drugs Dependence (ECDD), yaitu mekanisme expert di bawah World Health Organization (WHO) pada tahun 2019 memberikan rekomendasi kepada The Commission on Narcotic Drugs (CND) yang dibentuk UN Economic and Social Council (UN ECOSOC) dan WHO untuk menghapus cannabis dan cannabis resin dari Schedule IV Convention on Narcotics Drugs 1961 dan hanya berada pada Schedule I Convention dimaksud. Schedule IV ini hampir sama dengan Narkotika Golongan I di Indonesia sementara schedule I hampir sama dengan narkotika Golongan II dan III. Atas rekomendasi ini, CND mengadakan voting dan sebagaimana tertuang pada Decision 63/17, Deletion of cannabis and cannbis resin form Sechedule IV of the Single Convention on Narcotic Drugs of 1961 as amended by the 1972 Protocol yang disetujui oleh 27 negara dengan 25 menolak dan 1 negara abstain. Meskipun terjadi perdebatan namun penetapan ganja untuk kepentingan medis telah menjadi keputusan badan di PBB.

Oleh karena itu semua pihak diharapkan dapat mendukung penelitian yang dilakukan oleh Kemenkes untuk mengkaji hal ini. Penelitian tidak harus dilakukan dari awal karena sebelumnya telah terdapat penelitian dari berbagai negara termasuk dari komite expert di bawah PBB yang dapat dijadikan rujukan penelitian lanjutan.

Saat ini juga tengah dilakukan pembahasan revisi UU Narkotika, tentu informasi baik berupa hasil penelitian ahli maupun keterangan masyarakat seperti dari ibu Santi dan ibu Dwi akan menjadi bahan masukan revisi UU Narkotika.

Revisi UU Narkotika ini diharapkan juga dapat mengubah paradigma kebijakan narkotika selama ini yang selalu menempatkan persoalan narkotika sebagai persoalan hukum dan penegakan hukum semata. Padahal justru yang harus dikedepankan adalah penanganan kebijakan kesehatannya. Hukum digunakan untuk pihak-pihak yang memanfaatkan narkotika untuk kejahatan, sementara pendekatan kesehatan digunkan untuk kemanfaatan dan kemanusiaan serta menyelamatkan anak bangsa yang menjadi korban dari penyalahgunaan narkotika.

Apakah Bahasan ini Menarik?

Klik untuk memberikan penilaian!

Rata - rata penilaian 5 / 5. Penilaian terhitung: 2

Belum ada penilaian! Berikan penilaian anda untuk bahasan ini.

Karena anda telah memberikan nilai...

Jangan lupa bagikan di media sosial!

Taufik Basari, S.H., S.Hum., LL.M. adalah politikus, advokat, aktivis hak asasi manusia, pendiri Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, mantan aktivis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, dan akademisi Indonesia. Saat ini, ia merupakan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia periode 2019–2024.

Leave a Reply