Untuk Suksesi AKPI Jakarta Senin sore (6/6) minggu lalu saat hujan deras yang mengguyur ternyata belum mampu menggugurkan riuh rendah ketawa renyah para kurator AKPI. Larut dalam kebersamaan.
Di salah satu resto bernuansa etnik jawa, Imran Nating menggelar acara bertajuk Deklarasi, semacam penanda awal dirinya memutuskan maju dalam suksesi kepemimpinan di tubuh organisasi AKPI dalam Rapat Anggota Tahunan tahun ini. Memilih Rafles Siregar sebagai kandidat Sekretaris Jenderalnya kelak jika terpilih.
Bagi yang belum pernah terlibat proses pergantian kepemimpinan di AKPI, acara demikian mungkin terasa asing. Namun bagi yang pernah merasakan langsung nikmatnya proses demokrasi di AKPI, acara ini tak lebih dan tak bukan hanyah sebatas acara ramah tamah. Apalagi tak berselang begitu jauh dari syahdunya Idul Fitri. Besar keinginan untuk bersapa gembira. Tak peduli nanti akan mendukung siapa, yang penting kita semua bersaudara. Begitu kira-kira narasi besar acaranya.
Meredanya pandemi Covid 19, juga menjadi semacam amunisi tambahan yang menyemangati berjubelnya para kurator berkumpul. Angkatan baru hingga angkatan pertama semua ada. Tumpek blek. Lama tak bertatap muka secara fisik, memang terasa menyiksa. Seperti rindu yang harus dibayar tuntas.
Lelucon khas yang hanya bisa dinikmati rekan seprofesi meluncur deras. Gelak tawa tak terhindarkan. Tak ketinggalan hidangan pemuas dahaga dan lapar. Juga musik untuk berdendang. Gendang gendut tali kecapi, kenyang perut senanglah hati. Senyum dan tertawa lebar menghiasi wajah sepanjang malam itu.
Tawaran Imran di pagelaran sederhana ini?
Seperti sosoknya yang sederhana, tawaran gagasannya pun demikian. Namun dibalik kesederhanaan itulah kita melihat bongkah kekuatan dan keistimewaannya. Simplicity at its best. Ia merangkumnya dari segala sudut pandang.
Imran mengakui, keputusan untuk maju menjadi calon pemimpin AKPI untuk periode 2022-2025 baru tercetus tak lama sebelum deklarasi. Ia menerima banyak dorongan juga curhatan soal bagaimana Suksesi AKPI dikelola 3 tahun belakangan.
Singkatnya, AKPI dalam banyak masukan yang diterimanya semacam kehilangan aura dan pesona yang selama ini menjadi kebanggaan para anggotanya. Soal teknis-teknis juga diceritakan kepadanya. Banyak catatan di sana-sini. Bagaimana roda organisasi berjalan dan dijalankan. Ada yang mengundurkan diri dari kepengurusan karena hal-hal yang tak lagi sejalan. Namun mereka yang meminta Imran maju, meminta lebih dari sekedar perbaikan teknikal itu.
Organisasi yang sehat menurut mereka tidak boleh dipersonalisasi milik segelintir kepala, apalagi hanya sosok tertentu. Organisasi yang inklusif. Bukan ekslusif, karena organisasi ini milik semua. Eksistensi dan kebesaran AKPI selama ini ditopang oleh rekan seprofesi yang beragam latar belakang. Tolong kembalikan AKPI ke warna yang menjadi marwahnya: warna segala kepala, lengkap dengan kejenakaannya. Menurut mereka, organisasi ini butuh pemimpin baru, namun memiliki “DNA” dan pernah turut bekerja membesarkan AKPI.
Imran butuh waktu untuk mencernanya. Ia tak gegabah. Ia perlu mendengar lebih banyak lagi. Meskipun selama ini banyak mendengar selentingan informasi beredar, ia mahfum, begitulah dinamika berorganisasi. Di setiap organisasi, terlebih organisasi profesi. Sebenarnya menandakan baik, organisasi tersebut terus berdenyut dan hidup.
Imran merasa, kalaupun ia memutuskan maju, bukan karena kesalahan para pendahulunya, atau karena orang perorang. Baginya, siapa saja bisa dinilai berbuat demikian. Di organisasi besar manapun, tidak semua orang bisa dipuaskan.
Penguusan AKPI
Melakukan kesalahan adalah manusiawi. Hal yang niscaya terjadi. Dari situlah kita mengambilnya sebagai pelajaran. Organisasi baik dan sehat menggelinding dari satu kesalahan ke kesalahan yang lain dengan sentuhan perbaikan. Kalaupun ia terpilih menjadi ketua umum, tak pernah ada garansi bebas salah dan bisa menyenangkan semua kepala.
Imran mencari akar tempatnya berpijak mendirikan keputusan, bukan karena kesalahan-kesalahan pihak manapun. Ia mengambil jarak beberapa waktu, meminta penguatan. Bertanya ke hati dan istri. Juga kepada para sahabat, guru dan orang-orang terdekatnya. Ia tak punya ambisi “harus” menjadi Ketua. Selama 3 tahun menepi dari hiruk pikuk kepengurusan AKPI tak membuatnya menjadi merasa tak berarti dan sepi.
Ia memutuskan maju karena kerinduan yang berasal dari cinta yang meluap. Cintanya mula-mula akan organisasi AKPI sejak pertama kali menyandang status sejak mengikuti pendidikan dan dinyatakan lulus sebagai kurator sampai menjadi Sekretaris Jenderal.
Ia percaya, kekuatan cinta melampaui dan menutupi segala kesalahan. Kolaborasi menjadi mesinnya. Kalaupun maju, sejak awal ia menginginkan kerja bersama-kolaborasi-dari semua para pendukungnya. Rasa cinta yang mengikat semua anggota. Bekerja sukarela, memeras tenaga dan akal, semata-mata demi kebaikan organisasi tercinta.
Imran memang bukan orang baru di organisasi Kurator. Kiprahnya panjang. Imran tercatat sebagai Angkatan ke-14 dalam pendidikan AKPI. Begitu juga Rafles Siregar. Saat ini AKPI sedang menjalankan pendidikan Angkatan ke-29. Sebelum menjabat sebagai Sekretaris Jenderal AKPI dalam dua periode kepengurusan, ia juga sudah menulis buku soal bagaimana kurator menjalankan tugasnya.
Imran muncul dalam banyak forum terkait peningkatan kualitas profesi. Baik sebagai narasumber dalam kapasitasnya sebagai pribadi maupun sebagai pengurus AKPI. Jejaknya berorganisasi jelas. Bukan kader semalam suntuk, alias baru hadir menjelang pemilihan. Seperti cendawan dimusim penghujan.