RKUHP dan Beredarnya Mitos Warisan Kolonial!

admin

RKUHP dan Beredarnya Mitos Warisan Kolonial!

RKUHP dan Beredarnya Mitos ini sejujurnya saya cukup gemas membicarakan RKUHP. Alasan pengggantian KUHP menjadi RKUHP lebih banyak soal mitos, salah satuya warisan kolonial.

Mitos warisan kolonial ini sebenarnya cukup menggelikan. Karena begitu banyak warisan kolonial yang hidup sepanjang kemerdekaan namun tidak kita sadari bahkan mati – matian dipertahankan.

Saya kasih contoh beberapa dimana ada warisan yang tidak kita sadari namun bagian dari perjalanan panjang. Indonesia dari masa Hindia Belanda hingga saat ini

Pertama soal Negara Kesatuan.

Negara Kesatuan jelas warisan kolonial yang tidak pernah kita sadari. Hindia Belanda harus kita akui menerapkan konsep Negara Kesatuan. Tidak pernah kita mendegar jika Hindia Belanda adalah organisasi sebagai sebuah federasi. Kalaupun sempat muncul ide federasi, ide itu baru ada selepas kekalahan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.

Dalam sejarahnya Hindia Belanda menerapkan sentralisasi yang cukup kuat. Sistem pemerintahan di Hindia Belanda dapat mereka atur berdasarkan Reglemen Pemerintah Tentang Kebijakan Pemerintahan Hindia Belanda. (Reglement Op het Beleid der Regering Van Nederlands Indie atau secara singkat Regeringsreglement atau lebih di singkat lagi R.R. 1885). Berdasarkan pasal 71 R.R., sistem pemerintahan di Hindia Belanda di jalankan secara sentralis.

Dengan kata lain pemerintahan. RKUHP dan Beredarnya Mitos hanya mereka jalankan satu arah dengan segala sesuatu yang sudah pusat atur dan yang menyelenggarakan ialah pemerintah pusat.

Seandainya, Hindia Belanda dahulu sudah menjadi organisasi secara federasi, saya cukup yakin para perumus. UUD 1945 juga tidak akan pernah memikirkan menerapkan Negara kesatuan.

Dan Negara Kesatuan warisan kolonial ini juga menjadi hal – hal yang berdasarkan kesepakatan. MPR tidak boleh kita ubah dalam Amandemen UUD 1945.

Kedua soal Desentralisasi

RKUHP dan Beredarnya Mitos Negara kesatuan dengan sentralisasi yang sangat kuat ini kemudian mendapatkan tantangan dari para penyokong ide desentralisasi. Kemudian di Belanda muncul ide untuk mereorganisasi tata pemerintahan Hindia Belanda dengan memberikan kewenangan kepada daerah – daerah.

Pada 1880 muncul perdebatan di Parlemen Belanda dan kemudian mereka sahkan melalui amandemen RR pada 1903 dengan memasukkan. Pasal 68A, Pasal 68B, dan Pasal 68C RR.

Perubahan di RR tersebut lalu mereka tindalanjuti dengan terbitnya Wethoudende Decentralisatie van het. Bestuur in Nederlandsch-Indie pada 23 Juli 1903, atau lebih terkenal dengan nama Decentralisatie Wet 1903.

Pemerintah Belanda lalu mengeluarkan Decentralisatie Besluit 1905 dan Local Raden Ordonnantie. Dalam Decentralisatie Besluit yang sudah mereka atur tentang mengemukakan tentang pokok-pokok pembentukan, susunan, kedudukan, dan wewenang dewan. (Raad) dalam pengelolaan keuangan yang mereka pisahkan dari pemerintah pusat.

Sedangkan Local Raden Ordonnantie merupakan aturan pelaksanaan yang menentukan struktur, status, kewenangan dewan (Raad), yaitu Gewestelijke Raad, Plaatselijk Raad, dan Gemeenteraad.

Jadi Negara Kesatuan dengan desentralisasi juga bukan hal baru sebenarnya. Dia sudah merintis bersama dengan Hindia Belanda dan para pembentuk UUD 1945 menegaskannya kembali.

Ketiga Sistem Presidensial

Ini sebenarnya juga warisan Hindia Belanda meski dengan perubahan beberapa hal dimana-mana. Ingat pemegang kekuasaan tertinggi pemerintahan di Hindia Belanda ya Gubernur Jenderal. Sempat ada usaha pada masa Hindia Belanda agar Hindia Belanda bisa memberikan kewenangan untuk membentuk Responsible Government yang mempunyai gagasan melalui Petisi Seotardjo anggota Volksraad.

Ruh dari petisi Soetardjo ini sebenarnya kalau di masa saat ini adalah pemerintahan yang bertanggung jawab kepada parlemen atau demokrasi parlementer. Sayangnya ide responsible government ini Belanda tolak.

Hasilnya ya Gubernur Jenderal yang tidak bertanggungjawab kepada siapapun kecuali kepada Mahkota Belanda melalui Menteri Koloni.

Soal pertanggungjawaban itu saja yang membedakan antara Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan sistem presidensial yang kita gunakan saat ini. Sisanya, kewenangan dan kekuatan dari Posisi Gubernur Jenderal di masa itu juga masih mirip dengan kewenangan dan kekuatan yang Presiden Indonesia miliki.

Ini sekedar berandai – andai ya, seandainya Petisi Soetardjo waktu itu diterima, kita tentu akan mempertahankan sistem pemerintahan yang bertanggungjawab kepada Parlemen. Mungkin kita akan punya Perdana Menteri dan bisa jadi tidak ada jatuh bangun kabinet pada saat demokrasi parlementer diterapkan di Indonesia di 1946 – 1959.

Karena kita sudah lebih terlatih dengan konsep dan ide demokrasi parlementer. Namun karena karena kita terbiasa tidak dengan model demokrasi parlementer ya hasilnya kita punya lembaga kepresidenan yang sangat kuat.

Nah itu sekedar dongeng soal RKUHP dan Beredarnya Mitos warisan kolonial. Semoga kita tidak terjebak dengan mitos warisan kolonial dalam proses pembentukan hukum.