Saat Pandemik Covid 19 Hubungan Industrial memang berdampak ke segala aspek kehidupan. Salah satu yang terkena dampak adalah ketenagakerjaan. Ada beberapa dampak yang paling menyorot terkait ketenagakerjaan.
dAMPAK YANG TERKAIT KETENAGAKERJAAN
Berikut beberapa damapak yang paling terlihata terkait ketenagakerjaan yaitu :
1. Perlindungan dan kesehata kerja
Mengenai perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Hal ini penting mengingat protokol kesehatan saat ini mewajibkan setia orang untuk mencegah penyebaran virus. Covid 19 dengan menjaga kebersihan salah satunya di lingkungan kerja. Minimal Pemberi Kerja atau Perusahaan harus menyediakan alat pelindung diri seperti masker dan hand sanitizer.
Selain itu baik Pemberi Kerja maupun Pekerja atau Buruh harus tetap menaati regulasi dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam hal ini Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sehingga tidak semua sektor usaha yang dapat beroperasi selama PSBB masih berlangsung.
2. Bekerja dari rumah (WFH)
Mengenai bekerja di rumah atau work from home. Hal ini setidaknya menimbulkan sisi positif dan negatif. Sisi positif, para pelaku hubungan industrial antara lain perusahaan dan pekerja dapat mencegah timbulnya atau penyebaran. Covid 19 dari lingkungan rumah ke lingkungan kerja atau sebaliknya.
Namun sisi negatif, perusahaan yang harus melaksanakan work from home tidak dapat melaksanakan operasional yang efektif karena segala komunikasi dan pekerjaaan dilakukan secara online.
Sehingga apabila terdapat pekerjaan yang harus tetap dilakukan secara offline menjadi kesulitan untuk dilaksanakan. Apabila sarana dan prasarana untuk menunjang berada di perusahaan. Sedangkan perusahaan dalam kondisi PSBB saat ini dilarang operasional kecuali sektor tertentu yang diatur oleh Pemerintah.
3. kETIDAK PASTIAN HUKUM DALAM HUBUNGAN INDUSTRIAL
Timbulnya ketidak pastian hukum bagi para pelaku hubungan industrial. Tidak dipungkiri banyak perusahaan maupun pekerja yang sama-sama merasa dampak kerugian akibat Pandemik Covid 19 saat ini.
Dari sisi perusahaan, tidak dipungkiri di beberapa sektor jasa harus mengalami penurunan penjualan secara signifikan atau bahkan tidak ada penjualan sama sekali. Sedangkan bagi pekerja.
Sudah pasti otomatis status hubungan kerja dengan perusahaan berpotensi menjadi alasan untuk dilakukan pemutusan hubungan kerja karena tidak ada pekerjaan yang dilakukan atau melakukan pemotongan upah. Untuk mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja dengan istilah dirumahkan dengan unpaid leave (cuti diluar tanggungan).
Ketidakpastian hukum ini muncul karena Pemerintah dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) hanya mengeluarkan surat edaran terkait perlindungan pekerja dalam masa Covid 19 yang tidak berlaku umum dan mengikat (Erga Omnes).
pENDAFTARAN PROGRAM KARTU PRAKERJA
Kemudian yang justru membingungkan bahwa Pemerintah menyarankan Perusahaan untuk memberikan data pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja ataupun dirumahkan. Termasuk menyarankan pekerja yang terkena dampak atas Covid 19 (kehilangan pekerjaan atau penghasilan) untuk mendaftarkan program kartu Prakerja.
Hal ini dipertanyakan karena sejatinya Hubungan Industrial harus mengedepankan harmonisasi sehingga seharusnya pemutusan hubungan kerja harus dihindarkan.
Beberapa dampak diatas jelas menunjukan hubungan industrial itu sendiri seakan menjadi kehilangan makna. Sehingga Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan saat ini belum ada revisi mengenai makna Hubungan Industrial.
Dalam Pasal 1 angka 16 , dinyatakan Hubungan Industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku.
Dalam proses produksi barang dan/jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Sebagai landasan fundamental dari hubungan industrial ini adalah Pancasila dan UUD 1945. Sehingga justru diharapkan hubungan industrial dapat menciptakan pembangunan ketenagakerjaan yang dilaksanakan demi mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, makmur dan merata baik materiil maupun spiritual.
Oleh karenanya Hubungan Industrial dalam Pandemik Covid 19 saat ini perlu dibangkitkan kembali tidak sekedar tekstual belaka. Semua pihak menginginkan hubungan industrial yang harmonis yang menguntungkan semua pelaku.
Dibutuhkan berbagai masukan demi mempertahankan semangat hubungan industrial yang telah tercipta sejak UU Ketenagakerjaan berlaku.
Bentuk Ideal Hubungan Industrial Dalam Pandemi Covid-19
Beberapa hal yang dapat menjadi masukan sebagai bentuk ideal dari Hubungan Industrial Dalam Pandemik Covid-19.
Pertama
Membutuhkan peraturan perundang-undangan minimal Peraturan Menteri Tenaga Kerja untuk menguntungkan para pelaku hubungan industrial seperti stimulus dalam iuran BPJS dan pajak penghasilan ditanggung oleh negara dan Perlindungan hak-hak normatif pekerja seperti keselamatan dan kesehatan kerja, upah, tunjangan hari raya dan cuti atau waktu istirahat.
Kedua
Memberikan dispensasi kepada perusahaan melalui peraturan pemerintah daerah atau Perda yang mewajibkan perusahaan untuk alih usaha sementara waktu demi mempertahankan kelangsungan usaha dan komitmen.
Dalam melindungi hak-hak normatif pekerja. Ini perlu dilakukan mengingat saat Pandemik Covid 19 ini tidak semua sektor dapat beroperasi. Langkah ini dinilai lebih bijak dibandingkan dengan melakukan penutupan sementara kepada perusahaan yang masih beroperasi. Padahal bidang usaha tidak termasuk dalam sektor yang dikecualikan.
Ketiga
Memberikan insentif kepada pengawas ketenagakerjaan dalam rangka pengawasan hubungan kerja agar bekerja ekstra pro aktif untuk mencegah terjadinya dampak kepada pekerja baik pemutusan hubungan kerja maupun dirumahkan.
Selain mengawasi perusahaan yang melanggar PSBB alangkah baiknya Pengawas ketenagakerjaan juga harus pro aktif mengawasi kelangsungan hubungan kerja saat Pandemik Covid 19.
Keempat
Tetap menunda pembahasan RUU Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan yang justru masih memiliki banyak kekurangan-kekurangan dari segi substansial. Salah satunya tidak dipungkiri beberapa pasal dalam Draf RUU justru mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi sehingga perlu banyak perbaikan. Penundaan pembahasan alangkah baik dilakukan sampai ada konsesus secara tertulis terlebih dahulu antara pemerintah, pihak pengusaha dan pihak pekerja (buruh).