Menempatkan Kembali Tentang Persetujuan Korban kekerasan seksual, dimanapun, tentu saja harus dilawan dengan beragam cara. Pencegahan menjadi backbone utama untuk melawan kekerasan seksual terhadap siapapun dan dimanapun. Dalam pandangan saya, kekerasan seksual tidak hanya serangan terhadap tubuh namun juga terhadap integritas diri pribadi dan kehormatan diri pribadi
Permenristekdikbud soal Pencegahan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi adalah inisiatif yang wajib didukung oleh semua pihak. Meski demikian, tak urung ada suara – suara yang menginginkan adanya revisi dari Permendikbud ini. Keinginan revisi misalnya datang dari Muhammadiyah yang mempersoalkan penggunaan frasa persetujuan korban. Sementara NU menyuarakan agar peraturan itu disempurnakan, meski tak dirinci mana yang perlu disempurnakan.
Tapi dugaan saya, keduanya memang mempersoalkan tentang persetujuan korban.
Dalam beberapa derajat, saya bisa memahami hal itu, akan tetapi bukan karena faktor keagamaan. Namun saya mau melihatnya dari sisi yang lain. Persoalan kekerasan seksual dan juga mungkin peristiwa kekerasan lain akar masalahnya memang harus dilihat dan diteropong dengan baik. Sehingga jawaban atau solusi terhadap persoalan tersebut juga bisa tepat.
Sebelumnya saya juga sudah membahas pandangan saya mengenai hal ini dalam bentuk yang umum dan fokus mengenai asas dan doktrin.
definisi kekerasan seksual
Secara defisini, kekerasan seksual adalah bentuk lain dari serangan terhadap tubuh dan yang paling moderat. Misalnya serangan terhadap diri pribadi (privasi) termasuk serangan terhadap kehormatan diri pribadi.
Karena kekerasan seksual adalah bentuk lain dari serangan yang umum, maka yang namanya serangan sebenarnya tidak memerlukan elemen persetujuan. Jadi ketiadaan persetujuan bukan berarti tidak ada serangan baik terhadap tubuh, diri pribadi, ataupun kehormatan diri pribadi.
Sederhananya, kalau dianalogikan dengan serangan terhadap tubuh, peristiwa pembunuhan ataupun penganiayaan kan tidak memerlukan persetujuan. Demikian juga serangan terhadap kehormatan diri pribadi, dalam kasus – kasus penghinaan juga tidak memerlukan persetujuan korban.
Namun, kenapa menempatkan elemen persetujuan menjadi sedemikian penting?
Dari analisa saya yang pendek, tentu harus dibuktikan dengan penelitian yang lebih advance. Akarnya adalah persoalan di pembuktian dan juga praktik hukum acara pidana. Kalau membaca pernyataan Fathurozi dari Forum Pengada Layanan, maka persoalan dasarnya memang soal pembuktian dari praktik penerapan hukum acara pidana.
Proses penegakan hukum terhadap kasus yang dialami korban pun tak menunjukkan jalan mulus. “Hanya 15-20 persen kasus kekerasan seksual sampai divonis di pengadilan dan itu mayoritas adalah kasus dengan korban anak,” ucap Fathurozi . “Kasus kekerasan seksual dengan korban orang dewasa sangat sulit laporannya diproses sampai ke pengadilan,” sambung dia. Korban masih dibebankan dengan pembuktian serta tidak adanya perlindungan dari aparat penegak hukum terhadap ancaman yang diterima korban.
Pernyataan ini sejalan dengan riset yang ditemukan di berbagai Negara termasuk Indonesia, dimana jumlah pelaporan yang sampai ke persidangan. Karena bukti dianggap memadai, cukup rendah.
Pertanyaan yang sering para ahli hukum tanyakan dalam sistem peradilan pidana
Kenapa demikian? Tentu persoalan dasarnya ada di sistem pembuktian dan juga dukungan hukum acara yang memadai dalam konteks kekerasan seksual. Serta praktik yang taat pada aturan – aturan hukum acara pidana.
Maksud saya begini, ada banyak penelitian yang menunjukkan dimana para ahli hukum. Yang bekerja di sistem peradilan pidana sering bertanya soal
- Kenapa nggak melawan?
- Kenapa nggak menolak?
- Kenapa diam saja?
- Kamu menikmati jugakan, soalnya goyang sih?
- Kenapa baru lapor sekarang?
- Dlsb
Persoalan – persoalan ini, sebenarnya persoalan klasik di pembuktian dan dalam kasus kekerasan seksual memiliki kompleksitas tersendiri yang tidak mudah. Penggunaan alat bukti berbasis sains. Misalnya psikologi forensic, juga masih belum jamak ditemukan selain ada persoalan jarak, biaya, dan juga ketersediaan. Kalimat – kalimat pertanyaan seperti itu tidak perlu dilontarkan apabila sedari awal sudah dilakukan pemeriksaan psikologis secara forensic terhadap korban.
Kasandra Putranto menjelaskan jika pemeriksaan Psikologi Forensik penting dilakukan saat menerima laporan adanya dugaan kekerasan dan kekerasan seksual. Hal ini dibutuhkan untuk mencari bukti-bukti terkait dugaan kasus yang dilaporkan. Termasuk di dalamnya kebenaran laporan, kompetensi psikologis pelaku dan korban, serta motif pelaku. Terutama dugaan adanya bukti-bukti kekerasan dan kekerasan seksual berupa penderitaan emosional yang dialami oleh individu.
Mengantisipasi penanganan dari resiko kekerasan berulang
Selain itu asesmen awal dan pendampingan juga penting dilakukan untuk mengantisipasi kebutuhan penanganan. Segera dan perlindungan dari potensi resiko kekerasan berulang. Langkah – langkah ini dilanjutkan dengan menggali dampak psikologis pada korban, termasuk potensi resiko Gangguan stres pasca-trauma (PTSD).
Karena itu penanganan kasus hukum yang berfokus pada korban dan keluarganya juga harus diutamakan dan sangat krusial. Persoalan klasik dalam sistem peradilan pidana di Indonesia secara umum. Mekanisme bantuan terhadap korban kejahatan bersifat pasif apalagi berbicara soal mekanisme bantuan terhadap korban kekerasan seksual.
Di titik itu, saya dapat memahami kenapa kalimat atau frasa atau elemen persetujuan korban menjadi sangat krusial. Bagi para pegiat hak – hak perempuan. Karena pengalaman traumatic dan dukungan sistem yang tidak memadai akhirnya menjadikan elemen persetujuan menjadi elemen kunci dalam penanganan kekerasan seksual.
Negara memang belum menyediakan mekanisme bantuan yang memadai bagi korban kejahatan secara umum dan juga korban kekerasan seksual secara khusus. Apalagi dalam praktiknya korban kejahatan. Apalagi korban kekerasan seksual seperti diberikan beban pembuktian untuk membuktikan bahwa kejahatan atau kekerasan itu nyata terjadi. Karena itu mekanisme bantuan terhadap korban kejahatan khususnya korban kekerasan seksual harus diubah dari pasif menjadi aktif. Korban tidak perlu lapor sendiri ke kantor – kantor polisi, tapi siapapun yang menangani dan menduga terjadinya. Kekerasan seksual wajib mencatat dan melaporkannya secara resmi ke kantor – kantor polisi. Dan mekanisme rehabilitasi untuk pemulihan korban harus aktif bekerja meski belum kasus itu belum resmi menjadi kasus hukum.