Urgensi Sense Of Crisis Terhadap Korban Victim Blaming Dalam Perlindungan Hukum Di Indonesia

admin

Urgensi Sense Of Crisis Terhadap Korban Victim Blaming Dalam Perlindungan Hukum Di Indonesia

Urgensi Sense Of Crisis yaitu kekurang percayaan masyarakat awam terhadap hukum, akibat proses penegakan hukum  yang tumpul akan keadilan. Dalam hal ini perlu diketahui oleh masyarakat bahwa hukum tersebut mengandung keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Hal ini tergantung pada pertama Struktrur hukumnya/legal Aparatur (aparat penegak hukum polisi. Jaksa dan hakim) serta advokat sebagai penyeimbangnya, kedua Sistem hukumnya/ legal system (bagaimana pengaturan hukum di negaranya) tentunya setiap negara berbeda-beda. Dan ketiga Budaya hukum/ legal culture (hukum yang baik  menurut adat atau kebiasaan daerah setempat)

Sebagai intelektual hukum, ini menjadi klarifikasi dan sosialisasi bagi masyarakat. Bahwa ketiga komponen diatas menjadi tolak ukur penilaian terhadap peristiwa hukum yang terjadi di setiap negara. Dapat terjadi penerapan hukumnya yang kurang baik atau penegakan hukumnya yang kurang baik, atau semuanya kurang baik dapat dilihat dari tiga komponen diatas.

Urgensi Sense Of Crisis atau rasa kepekaan aparat sipil negara dan aparat penegak hukum atas suatu kasus. Sangat diperlukan dalam sebuah kasus. Sebab banyak terjadi , para korban mendapat perlakuan victim blaming dalam kasus pidana yang banyak ditemukan meliputi kekerasan seksual, kekerasan psikis, kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan dalam kasus dalam pelayanan hak administratif dalam pelayanan publik pun kerap kali terjadi.

kOMUNITAS Perlindungan Korban Kekerasan Seksual

Komunitas perlindungan korban kekerasan seksual dari Harvard Law School (HALT) dalam artikel “How to Avoid Victim Blaming” merujuk victim blaming sebagai suatu sikap atau perilaku yang menunjukkan bahwa korban. Bukannya pelaku, yang diminta untuk lebih bertanggung jawab atas penyerangan atau kekerasan yang terjadi pada dirinya.

Seseorang yang melakukan victim blaming, cenderung menyalahkan korban atas musibah yang menimpa dirinya (Korban). Dan seseorang tersebut tidak menyalahkan si pelaku, seakan-akan membenarkan kejahatan si pelaku.  Perlakuan tersebut terjadi pada kasus-kasus seperti pelecehan seksual, baik yang ringan hingga berat, kekerasan dalam rumah tangga, pencurian seperti:

Contoh kasus bersumber dari Kompas.com Tahun 2021, “Nasib Korban Pelecehan Seksual KPI, Dinonaktifkan dan Dapat Surat Penertiban”. Kasus pelecehan seksual yang menimpa MS ini mencuat setelah ia menulis surat terbuka yang kemudian viral di media sosial pada 1 September lalu.

Dalam surat terbuka itu, MS mengaku sudah menjadi korban perundungan sejak ia bekerja di KPI pada 2012. Pada 2015, MS bahkan mengalami pelecehan seksual dari lima rekan kerjanya. Pelecehan terjadi di kantor KPI. MS mengaku sudah pernah melaporkan hal tersebut ke atasan dan Polsek Gambir pada 2019 lalu, tetapi laporannya tak pernah ditindaklanjuti. Setelah surat terbukanya viral, KPI dan Kepolisian baru bergerak mengusut kasus ini.

Apa Itu Victim-Blaming?

Victim-blaming merupakan korban pelecehan yang menyebabkan mereka merasa malu, terancam, terancam dan tidak memperoleh haknya sebagai korban. Bahkan, victim-blaming menyebabkan banyaknya korban pelecehan yang lebih memilih bungkam dari pada menceritakan permasalahan mereka karena khawatir akan disalahkan.

Sudah susah untuk memproses kasusnya, pelakunya nggak terhukum. Si korban pun malah dapat victim blaming dari identitas-identitasnya itu. Dia juga mendapatkan kesulitan-kesulitan lain dalam proses pelaporannya yang juga menghabiskan energi dan dana.

Hal tersebut dialami oleh korban pelecehan di kantor KPI. Laporannya tak pernah ditindak lanjuti oleh mapolsek gambir juga selain itu bukannya dapat perlindungan malah dapat surat non aktif dan penertiban pegawai.

Victim blaming terjadi juga di ranah hukum administrasi berkaitan dengan  pelayanan mal administrasi pada anak. Seperti permasalahan paspor anak yang di indikasi memiliki dokumen ganda. Contoh kasus bersumber dari Tempo.com, Tahun 2016. Kepala Staf Garnisun Tetap DKI Jakarta Brigadir Jenderal TNI Yoshua Pangdip Sembiring mengatakan Gloria masih memegang paspor Prancis.

“Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 jelas dikatakan kehilangan warga negara seseorang itu bila dia mempunyai paspor. Gloria ini sudah punya paspor. Jadi kita harus taat dengan undang-undang,” kata Yoshua seusai pengukuhan Paskibraka 2016 di Istana Negara, Senin, 15 Agustus 2016.

Akibatnya ia di diskualifikasi dengan dasar masalah tersebut, sehingga hak-hak anak tersebut tidak terpenuhi. Padahal sebenarnya anak tersebut menjadi korban mal administrasi yang tidak diketahuinya. Atau anak tersebut belum cakap hukum sebelumnya dalam pengurusan administrasi tersebut.

dasar Urgensi Sense Of Crisis

Sehingga anak tersebut cenderung disalahkan oleh pemerintah. Walaupun sebenarnya anak tersebut masih bisa memenuhi haknya, pemerintah harus memberikan dispensasi atau amnesti guna memulihkan administrasi kenegaraannya tersebut. Dengan dasar sense of crisis. Anak tersebut merupakan korban mal administrasi atas ketidaktahuan atas ketidakcakapannya dalam megurus dokumen pribadinya.

Peran budaya, moral dan agama, menjadi penunjang dalam hal perlindungan  hukum. Sebab masyarakat sering salah menerapkan apa ,dimana, dan kapan ajaran budaya, moral dan agama dikaji dan dapat disajikan. Misalnya dalam memerhatikan suatu kasus pemerkosaan, sering kali masyarakat ataupun penegak hukum cenderung menginterogasi dengan menyalahkan pakaiannya yang terlalu ketat.

Sehingga vulgar yang jauh dari nilai nilai moral, agama, sehingga mengundang syahwat. Korban bukannya mendapat perlindungan namun malah menambah beban psiskis. Artinya hal yang mengandung kebaikan tersebut menjadi hal utama dalam kehidupan. Namun apabila berkaitan dengan adanya korban maka yang harus diutamakan adalah perlindungan hukum.

Jadi victim blaming Kalau kita analogikan orang sakit kritis, ketika terjadi kecelakaan yang dibutuhkan bukan interogasi dan memojokkan dengan pertanyaan kenapa kamu berkendara dengan kecepatan tinggi atau kenapa kamu tidak pakai helm, tapi yang dibutuhkan segera yaitu penanganan medis.

Lembaga Bantuan Hukum

Pada fakta yang terjadi nyatanya pemerintah hingga saat ini masih belum peka terhadap kasus-kasus yang menyebakan si korban dinyatakan bersalah. Oleh karena itu rasa kepekaan sense of krisis, harus menjadi peran utama menyelamatkan warganegara yang  menjadi korban dalam kasus apapun, baik pidana maupun administrasi. Sebab apabila negara lalai dan menghiraukan hak-hak korban dan malah cenderung disalahkan, maka yang terjadi  hak-hak warga negara bisa hilang, oleh penerapan hukum yang salah. Selain itu negara berindikasi melanggar ketentuan hak asasi manusia.

Victim blaming tidak hanya dilakukan oleh orang lain. Sebagian orang juga melakukan victim blaming pada diri sendiri. Hal Sebab ketidak tahuan informasi dan prosedur hukum, maka dari itu selaian pemerintah, itu peran para advokat, para legal, dan lembaga bantuan hukum  juga menjadi mata air bagi wraga negara pencari keadilan. Sebab berbahaya jika dibiarkan dan dipendam sendiri  dan merasa si korban merasa bersalah, hal tersebut berdampak pada penerapan hukum yang adil dan perkembangan hukum yang baik bagi setiap negara.

Pada intinya dampak victim blaming ini tidak membantu siapa siapa dan tidak memberikan manfaat apa-apa, justru semakin memojokkan korban, dan memperluas masalah,  oleh karena itu peran sense of crisis harus di aplikasikan betul-betul oleh aparatur negara dalam penegakan hukum,  selain itu juga Urgensi Sense Of Crisis juga dapat dijadikan bahan  kajia pengetahuan dan perkembangan hukum apabila tidak ada kepastian hukum yang mengatur, kepekaan itu nantinya yang mejadi hukum lebih maju, progresif dan responsif.