Pandemi COVID-19 yang terjadi di seluruh dunia, termasuk Indonesia sejak awal tahun 2020 telah menimbulkan kesulitan yang besar terhadap perkeonomian nasional khususnya dunia usaha. Kemampuan dunia usaha dalam menjalankan aktivitasnya menjadi sangat terganggu, terutama dalam menghasilkan pendapatan untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang mereka kepada para kreditur.
Keadaan ini telah melahirkan akibat berantai, dan apabila tidak segera diselesaikan akan menimbulkan dampak yang lebih luas, anatara lain hilangnya lapangan pekerjaan dan timbulnya kerawanan sosial lainnya. Oleh karena itu, untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang piutang tersebut secara adil, cepat, terbuka dan efektif, sangat diperlukan sarana hukum yang mendukungnya.
Di Indonesia, landasan hukum yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Dan Kepailitan, yang menjadi dasar hukum untuk kepentingan dunia usaha dalam melakukan restrukturisasi dan menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif melalui Pengadilan.
Mau membuat perjanjian, pernyataan, ataupun dokumen hukum lainnya tanpa repot dan gratis? Anda dapat membuat beragam dokumen hukum untuk berbagai keperluan pribadi anda.
Segera kunjungi DokumenHukum.ID
Mekanisme penundaan kewajiban pembayaran utang dan kepailitan di Pengadilan dibuat dengan tujuan, antara lain :
- Untuk menghindari perebutan harta Debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa Kreditor yang menagih piutangnya dari Debitor;
- Untuk menghindari adanya Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik Debitor tanpa memperhatikan kepentingan Debitor atau para Kreditor lainnya;
- Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang Kreditor atau Debitor sendiri. Misalnya, Debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang Kreditor tertentu sehingga Kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari Debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para Kreditor; dan
- Memberikan jaminan kepastian hukum bagi Kreditor terhadap haknya dalam jangka waktu yang ditentukan.
Satu tahun sejak pandemi COVID-19 melanda Indonesia pada awal tahun 2020, tren permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan Kepailitan pada 5 (lima) Pengadilan Niaga meningkat tajam jika dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi. Hal ini bisa dilihat dari sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) dari 5 Pengadilan Niaga :
- Periode kuartal I – 2020 terdapat 117 permohonan PKPU dan 31 permohonan kepailitan.
- Peiode kuartal II-2020 terdapat 127 permohonan PKPU dan 17 permohonan kepailitan.
- Peiode kuartal III-2020 terdapat 212 permohonan PKPU dan 29 permohonan kepailitan.
- Peiode kuartal IV-2020 terdapat 181 permohonan PKPU dan 38 permohonan kepailitan.
- Peiode kuartal I-2021 terdapat 199 permohonan PKPU dan 36 permohonan kepailitan.
Kondisi tersebut di atas cukup mengkhawatirkan karena membuktikan banyak perusahaan yang kesulitan menunaikan kewajiban pembayarannya di masa pandemi COVID-19. Namun di sisi lain, hal ini juga membuktikan tingginya kepercayaan pelaku usaha dan kreditor untuk melakukan restrukturisasi di Pengadilan, karena dinilai lebih cepat, terukur, pasti, efektif dan efisien.
Belum lama ini, sejumlah pelaku usaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) meminta kepada Pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan terkait perpanjangan waktu restrukturisasi, keringanan cicilan kredit, dan moratorium untuk permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Kepailitan selama 3 tahun. APINDO menilai bahwa Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Dan Kepailitan, memiliki celah-celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu sehingga terjadi “moral hazzard” yang mengancam dunia usaha.
Namun, di sisi lain, kalangan praktisi menilai bahwa kebijakan moratorium untuk permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Kepailitan, haruslah dilihat secara cermat dari berbagai sisi, khususnya dari sisi Kreditor dan perbankan.
Seyogyanya, jangan sampai kebijakan moratorium untuk permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Kepailitan justru menciptakan “moral hazard” lainnya yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu juga.
Bagia Nugraha memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) dari Universitas Padjadjaran dengan program kekhususan Hukum Administrasi Negara. Saat ini aktif sebagai Konsultan Hukum, Advokat, dan Kurator yang menangani berbagai perkara litigasi, sengketa pemilu, dan kepailitan. Bagia Nugraha adalah Managing Partner pada kantor hukum Lex Alliance.
mantap