Problematika Penghentian Penyidikan dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia terkenal dengan beberapa. Alasan penghapusan pidana yang terdiri dari alasan pembenar dan alasan pemaaf yang mengatur dalam. Pasal 44 sampai dengan Pasal 51 KUHP. Salah satu alasan penghapusan pidana yang dapat mengatur dalam. KUHP adalah Pembelaan terpaksa (noodweer) sebagimana ketentuan Pasal 49 Ayat (1) dan (2) KUHP.
Pembelaan Terpaksa (noodweer) sebagaimana ketentuan dalam Pasal 49 Ayat (1) KUHP “Tidak mempidana barang siapa yang melakukan perbuatan pembelaan. Terpaksa untuk diri sendiri dan orang lain. Kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain. Karena serangan sekejap itu ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.”
Dengan kata lain yang dapat mengatakan pembelaan terpaksa yaitu : 1) pembelaan bersifat terpaksa; 2) yang membela ialah diri sendiri. Orang lain, kehormatan kesusilaan. Atau harta benda sendiri atau orang lain; 3) ada serangan sekejab atau. Ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu; 4) serangan itu melawan hukum.
Pembelaan harus seimbang dengan serangan atau ancaman serta serangan tersebut tidak boleh melampaui batas keperluan dan keharusan. Pembelaan terpaksa berkaitan erat dengan prinsip subsidaritas, proporsionalitas dan culpa in causa.
Sedangkan pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas (noodweer exces) mengatur dalam Pasal 49 Ayat (2) KUHP. “Pembelaan Terpaksa yang melampaui batas. Yang langsung kita sebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu tidak dipidana.”
Nood weer exces memiliki dua bentuk: 1) orang yang menghadapi suatu serangan mengalami goncangan batin yang. Demikian hebat kemudian mengubah pembelaan diri menjadi suatu serangan; 2) orang yang melakukan pembelaan terpaksa mengalami. Goncangan jiwa yang begitu hebat dengan serta merta menggunakan upaya bela diri yang. Berlebihan atau setidak-tidaknya menggunakan upaya drastis untuk membela diri.
Adapun terdapat dua syarat yang dapat menyatakan seseorang melakukan noodweer exces yaitu : 1) harus ada situasi yang menimbulkan. Pembelaan terpaksa; 2) harus ada kegoncangan jiwa akibat serangan tersebut sehingga menimbullkan noodweer exces.
Kasus Amaq Sinta
Belakangan ini masyarakat banyak yang heboh dengan kasus begal yang melihat korban begal yang bernama Amaq Sinta mereka tetapkan sebagai tersangka oleh penyidik. Polres Lombok Tengah karena melakukan penyerangan kembali terhadap pelaku begal yang mencoba merampas sepeda motor milik. Amaq Sinta yang menyebabkan terbunuhnya pelaku tersebut.
Kasus tersebut bermula dengan penemuan dua orang yang bersimbah darah di daerah hukum. Polsek Praya Timur dan menemukannya barang bukti berupa 1 unit motor korban dan pisau sepanjang 30 Sentimeter. Dan setelah melakukan penyelidikan ternyata peristiwa tersebut bermula pembegalan (pencurian dengan kekerasan terhadap Amaq Sinta).
Problematika Penghentian Penyidikan Amaq Sinta pada saat itu berhadapan dengan 4 pelaku begal dan 2 lainnya tewas terbunuh oleh. Amaq Sinta Karena 2 orang pelaku begal tersebut mencoba merampas secara paksa motor Amaq Sinta. Sehingga terjadilah perlawanan yang menyebabkan 2 pelaku begal tewas sehingga Amaq Sinta mereka tetapkan Sebagai Tersangka.
Kasus tersebut menjadi viral sehingga Polda NTB mengambil alih kasus tersebut dan setelah melakukan. Gelar perkara mengambil keputusan proses hukum terhadap kasus. Amaq Sinta menghentikan Penyidikannya, karena tidak menemukan unsur perbuatan melawan hukum baik secara formil dan materil karena pebuatan. Amaq Sinta merupakan Pembelaan Terpaksa
Penghentian penyidikan yang Polda NTB lakukan terhadap Kasus tersebut, sisi lain mendapat apresiasi dari masyarakat luas. Namun sisi lain lagi menimbulkan problematika tersendiri dari segi penegakan hukum dan keadilan karena pada dasarnya. Sistem hukum kita menganut asas legalitas. Yang mengharuskan setiap tindakan pejabat publik dalam hal ini aparat penegak hukum harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketika membicarakan penghentian penyidikan dan lain sebagainya maka itu termasuk dalam alur proses sistem peradilan pidana yang landasan utamanya adalah KUHAP sebagai hukum positif (hukum pidana formil) di Indonesia saat ini.
Berdasarkan Pasal 109 ayat (2) KUHAP “ dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum, tersangka atau keluarganya.”
Hal ini berarti penghentian penyidikan hanya bisa melakukan dengan syarat suatu perkara tidak cukup alat bukti, dan bukan merupakan tindak pidana, sehingga dari luar ketentuan tersebut merupakan penerobosan terhadap norma legalitas formil yang KUHP atur.
Wewenang Penilaian Pembelaan Terpaksa (Noodweer)
Berkaitan dengan penghentian penyidikan yang melakukan POLDA NTB terhadap tersangka Amaq Sinta jelas adalah dari luar syarat limitatif yang telah menentukan KUHAP, karena bedasarkan pada ketentuan Pasal 49 Ayat (1) KUHP pembelaan terpaksa (noodwer). Dan dalam ilmu hukum pidana ketentuan tersebut termasuk dalam alasan penghapus pidana.
Problematika Penghentian Penyidikan menarik untuk kita bahas adalah apakah penilaian terhadap alasan penghapus pidana memberikan kepada setiap sub sistem peradilan pidana dalam hal ini Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim berdasarkan hukum positif yang berlaku saat ini ?
Fachrizal Affandi, Ph.D Dosen hukum pidana pada Universitas Brawijaya Malang juga selaku Ketua Persada UB, menyampaikan hanya hakim yang memberikan kewenangan untuk memutuskan terkait alasan pemaaf dan pembenar dalam tindak pidana serta menilai bersalah tidaknya seorang pelaku tidak pidana. Selanjutnya pengamat hukum pidana Trisakti Abdul Fickar Hadjar juga mengatakan demikian bahwa jika terdapat kasus terindikasi adanya pembelaan terpaksa atau atau alasan penghapus pidana, maka penyidik dalam BAP harus menyebutkan alasan-alasan tersebut, sehingga keterangan tersebut menjadikan dasar nantinya oleh hakim untuk menilai dan memutuskan benar tidaknya seorang pelaku tindak pidana.
Oleh karenanya hemat kami penulis adalah kurang tepat penghentian penyidikan yang akan Polda NTB lakukan terhadap kasus Amaq Sinta karena itu diluar syarat limitif penghentian penyidikan yang telah diatur KUHAP.
Seharusnya kasus Amaq Sinta tetap dilanjutkan dan akan mereka limpahkan ke Kejaksaan untuk di proses, dan jikapun memang ada desakan publik terhadap penghentian kasus tersebut, jaksa selaku pemegang mandat asas Dominus Litis nanti menentukan layak tidaknya suatu perkara melimpahkan ke pengadilan. Selain itu kejaksaan memiliki kewenangan opportunitas yang Jaksa Agung miliki yaitu peluang untuk tidak melakukan penuntutan apabila merugikan kepentingan umum.
Apa Itu opportunitas?
Hal ini senada dengan yang Fachrizal Affandi, Ph.D sampaikan juga oleh “Jaksa itu bertugas menganalisa penerapan pasal yang menyangkakan kepada seorang tersangka dan memutuskan apakah seseorang itu perlu kita dakwa atas suatu tindak pidana atau tidak berdasarkan asas opportunitas yang melekat pada keweangan penuntutan”.
Oleh karena kewenangan asas oportunitas yang melekat pada Jaksa sejalan dengan prinsip keadilan dan doktrin diskresi penuntutan (prosecutorial discrationary), termasuk untuk menentukan suatu tindak pidana yang mereka lakukan atas dasar pembelaan terpaksa (noodweer) atau tidak. Hanya Jaksa sebagai pengemban Asas Dominus Litis dan Asas Oportunitas.
Hemat kami penulis apa yang telah dilakukan penyidik dalam penanganan kasus Amaq Sinta tidak sepenuhnya dapat kita salahkan, karena hal tersbeut merupakan konsekuesi logis daripada KUHAP kita yang menganut prinsip Diferensiasi Fungsional yang memaksa penyidik untuk mandiri tanpa supervisi jaksa dan kontrol aktif dari hakim dalam hal penangganan perkara.
Maka Problematika Penghentian Penyidikan seharusnya hal tersebut menjadi poin penting dalam rangka pembahasan RUU KUHAP untuk membentuk Integrated Criminal Justice System dengan memperkuat peran aktif atau supervise jaksa dan kontrol aktif hakim dalam tahap penyidikan oleh kepolisian, guna menciptakan sistem peradilan pidana di Indonesia yang sesuai dengan Due Process Of Law.
*) Bahasan ini adalah pendapat pribadi penulis bukan merupakan pandangan resmi dari institusi Penulis.