Pengkriminalan Korban Kekerasan Seksual: Belajar dari Kasus Sum Kuning

admin

Pengkriminalan Korban Kekerasan Seksual= Belajar dari Kasus Sum Kuning

Pengkriminalan Korban Kekerasan Seksual saat ini sedang berlangsung gugatan Tata Usaha Negara (TUN) yang melayangkan IM. Alumni Universitas IsIam Indonesia (UII) yang mengugat Rektor UII ke PTUN Yogyakarta. Gugatan dengan tuntutan untuk pengembalian gelar mahasiswa berprestasi 2018 yang kita cabut karena dugaan pelecehan seksual yang mereka lakukannya.

Laporan ke Kepolisian juga melayangkan kepada LBH Yogyakarta, salah satu lembaga pendamping korban dengan tuduhan melanggar. UU ITE (Tribun Yogya 17/12/2020). Selain menyasar lembaga pendamping, serangan balik juga menyasar korban kekerasan seksual.

Misalkan di Garut, P korban perkawinan anak dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Oleh suaminya harus meringkuk di penjara selama tiga tahun karena terjerat. UU Pornografi atas video konten intim yang mereka sebarkan dan mereka perjualbelikan suaminya.

Sebelumnya BN mereka kena hukum enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta dengan dakwaan melanggar UU ITE sebelum akhirnya mendapatkan amnesti.

Kasus kasus tersebut adalah sebagian kecil dari kasus pada korban kekerasan seksual diposisikan menjadi pelaku kejahatan dan menjadi perhatian masyarakat luas. Kondisi ini biasa kita sebut “kriminalisasi ? yaitu serangan balik dari pelaku terhadap korban korbannya atau. Perempuan Pembela HAM (PPHAM) dengan menggunakan aturan-aturan normatif yang ada, yang selanjutnya mengaburkan kasus inti dan memperkuat terjadinya impunitas pelaku.

PPHAM sendiri adalah individu atau organisasi yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Termasuk hak korban kekerasan seksual yang bias akita sebut dengan pendamping korban.

Kriminalisasi

Istilah “kriminalisasi? adalah terminologi dalam ilmu hukum pidana yang merujuk pada proses formulasi. Sedangkan sebuah perbuatan yang sebelumnya bukan sebuah tindak pidana menjadi tindak pidana melalui proses legislasi.

Namun istilah “kriminalisasi? yang berkembang di masyarakat memiliki makna yang negative, salah satunya adalah pola pada korban atau pendampingnya menjadikan tersangka.

Untuk konteks kekerasan seksual, perempuan korban, dan pendamping potensial menjadi tersangka, terlebih ketika pelaku memiliki kuasa lebih secara ekonomi, sosial, politik dan memiliki jaringan kekuasaan. Komnas Perempuan di setiap catatan laporan tahunannya menyampaikan pola ini dan mendefinisikannya sebagai:

“tuduhan tindak pidana atau gugatan balik atau perbuatan melawan hukum oleh pihak yang digugat dan atau oleh orang-orang yang memiliki rantai relasi kepentingan yang ditujukan kepada seorang perempuan atau sekelompok perempuan yang sedang dalam proses memperjuangkan haknya atau hak orang lain, dalam rangkaian satu fakta hukum ?.

Saya memilih istilah pengkriminalan agar tidak terjadi kerancuan dalam ilmu hukum pidana. Mengingat pasal-pasal yang akan menggunakannya adalah aturan hukum positif yang telah melalui proses. ‘Kriminalisasi’ dengan pengertian serupa tersebut.

UU ITE, UU PKDRT, UU Pornografi dan KUHP tercatat menjadi undang-undang yang mengemuka yang mereka gunakan untuk pengkriminalan korban atau pendamping. Pelaporan balik juga mereka gunakan untuk mengintimidasi korban atau keluarganya agar mencabut laporan kekerasan seksualnya.

Pada titik ini korban yang tidak memiliki kuasa setara dengan pelaku, tidak mendapatkan dukung oleh sistem hukum untuk membuktikan dirinya adalah korban dan tidak mendapatkan pendampingan hukum yang berkualitas akan semakin terpuruk. Bungkam dan tidak melanjutkan klaimnya atas keadilan. Maka dapat kita pahami mengapa kasus-kasus kekerasan seksual tidak berlanjut sampai ke persidangan.

Pengkriminalan yang kini tengah dialami oleh UII dan LBH Yogyakarta ini, mengingatkan kita pada kasus Sum Kuning -bukan nama aslinya- 50 tahun yang lalu. Sum korban perkosaan menjadi tersangka dengan tuduhan menyiarkan kabar bohong dan laporan palsu, yang menjadi salah satu potret buramnya penegakan hukum di Indonesia. Sum dan wartawan yang menulis kasusnya menjadi tersangka, Pengacara-nya mendapatkan teguran atas pembelaannya.

Pengkriminalan Sum Kuning: 50 Tahun Lalu

Kamadjaja (1971) mendokumentasikan kasus Sum Kuning dalam buku berjudul “Sum Kuning Korban Pentjulikan Pemerkosaan, Proses Perkaranya Dengan Tuduhan Menjiarkan Kabar Bohong ?. Di dalamnya kita akan menemukan bagaimana Sum, dan wartawan  mengalami pengkriminalan, juga Sum mengalami penyiksaan seksual dan victim blaming ketika memperjuangkan hak atas keadilannya.

Sum, anak perempuan pertama yang setiap hari berjualan telor dari desanya di Sleman ke Kota Yogyakarta. Pada hari naas itu, Sum bermaksud pulang, tiba-tiba sebuab mobil jeep hampir menabraknya. Pemuda-pemuda berambut gondrong dari dalam mobil jeep menariknya dan membawanya ke arah Kota Magelang.

Sedangkan saat mobil itulah Sum terancam dengan belati atau pisau, yang sudah ada bius hingga tak sadarkan diri. Dalam kondisi setengah sadar, Sum merea perkosa beramai-ramai (gang rape). Penculikan, perkosaan dan perampokan terhadap Sum terjadi pada 21 September 1970.

Lantas, bagaimana Sum menjadi tersangka menyiarkan kabar bohong dan laporan palsu?. Setelah mereka turunkan di tepi jalan, dengan luka-luka dan jarik penuh darah, Sum datang ke langganan terdekat untuk meminta pertolongan.

Tangisan dan kepanikan di pagi hari itu mengundang para tetangga termasuk Tuti Sugijarti, wartawati Kedaulatan Rakyat untuk menemui dan mengantar Sum ke RS Bathesda dan menghubungi Polisi Militer Angkatan Darat (POMAD) Denpom VII/2.

Keterangan Sum Saat Polisi Menangkapnya

Peristiwa ini menimbulkan kegelisahan di dalam masyarakat. Mengingat beberapa bulan sebelumnya terdapat kasus serupa yang belum berhasil terungkap kepolisian. Kegelisahan ini menduga akan ada yang memanfaatkan untuk merongrong kewibawaan pemerintah, termasuk tersiarnya kabar bahwa pelaku sudah tertangkap dan akan diarak keliling kota. Masyarakat datang berduyun duyun untuk menyaksikannya.

Dampaknya Sum yang baru saja keluar dari rumah sakit ditangkap dan polisi tahan dengan tuduhan menyiarkan kabar bohong dan laporan palsu. Publik yang geram, meminta kepolisian membebaskan Sum dari segala tuduhan karena masyarakat percaya Sum adalah korban dan mendapatkan ketidakadilan.

Narasi yang sum bangun saat itu adalah Sum melakukan hubungan seks suka sama suka dengan tukang bakso yang ditemuinya di warung.

Sum mereka tuduh mengarang cerita penculikan dan perkosaan terinspirasi dari kasus yang belum terungkap. Sehingga Sum kemudian mereka nilai menyiarkan kabar bohong dan memberikan laporan palsu.

Selama 32 hari ditahan, Sum yang belum pulih secara fisik dari perkosaan, mendapatkan ancaman untuk disetrum jika tidak mengakui atau memberikan keterangan seperti narasi yang telah mereka bangun, bentak, pemeriksaan tanpa henti dan tanpa diberikan makan.

Sum juga mengalami penyiksaan seksual yaitu penelanjangan tubuhnya untuk dicari cap/stempel Gerwani, sebuah stigma pada jaman itu untuk menjatuhkan moralitas perempuan.  Juga penggunaan dukun untuk membuat Sum bicara meracau atau tidak menjawab dengan penuh kesadaran.

Akibat perlakuan Pengkriminalan Korban Kekerasan Seksual, Sum Kuning sampai setahun harus mendapatkan perawatan dokter. Ia masih memiiki ketakutan untuk pulang ke desanya, takut kepada orang berseragam polisi, bahkan ketakutan terhadap derap sepatu.

Solidaritas Masyarakat: Dari Bantuan Hukum sampai Dana Sum Kuning

Melalui mahasiswa Fakultas Hukum UII, Sum mendapatkan bantuan hukum cuma-cuma melalui Soetijono Darsosentono, Soewindo dan JC Sudjami. Selama persidangan tertutup, Penasehat Hukum yang boleh masuk ke ruang sidang hanyalah satu orang. 

Setiap persidangan, masyarakat datang berduyun-duyun untuk menyaksikan. Informasi yang menyampaikan Penasehat Hukum tentang proses persidangan kepada masyarakat melalui media menjadi polemic tersendiri dengan tuduhan menceritakan isi persidangan tertutup kepada media.

Pemberian bantuan hukum mendapatkan tantangan tersendiri dalam kasus ini ketika Jaksa menuntut Sum dengan pidana penjara tiga bulan dan satu tahun percobaan karena terbukti menyiarkan kabar bohong dan laporan palsu, tim penasehat hukum meminta untuk memberikan waktu satu minggu untuk menyusun pledoi, majelis hakim menolak. Tim penasehat hukum hanya kita berikan waktu 2 jam untuk menyusunnya.

Keputusan Hakim Ketua Lamijah Moeljarto

Solidaritas yang mengharukan adalah kesetiakawanan rakyat yang menyediakan meja dan tiga kursi dengan tiga gelas es jeruk di muka gedung olahraga sebrang pengadilan. Akhirnya, dalam putusannya Hakim Ketua Lamijah Moeljarto menyatakan Sum tak terbukti kesalahannya, karena itu harus mereka bebaskan. Keputusan ini masyarakat sambut dengan gembira yang memenuhi pengadilan.

Selain peran penasehat hukum, kasus ini menjadi perhatian publik karena peran pers. Bermula dari kepedulian seorang wartawati, tetangga langganan Sum yang mengantar ke rumah sakit dan memberitakannya.

Namun, ketika persidangan berlangsung terjadi penangkapan dan penahanan wartawan terhadap Slamet Djabarudi, wartawan mingguan Pelopor Jogja yang mengungkap dan memberitakan apa yang terjadi pada pemerikaaan di tingkat kepolisian.

Polisi menangkap slamet dan membawanya ke Komdin 096 dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik dan fitnah. Slamet mereka lepaskan setelah Pemerintah, PWI dan Serikat Perusahaan Suratkabar (SPS) menyepakatinya sebagai delik pers dimana hanya Kejaksaan yang berhak memanggilnya.

Solidaritas lain kita tunjukkan pula dengan membuat dana Sum Kuning di koran “Minggu Pagi dan “Pelopor Jogja. Dana ini menunjukan untuk membiayai biaya pengobatan dan perawatan Sum karena sakitnya yang parah, biaya hidup termasuk untuk tinggal di kota setelah persidangan atas dirinya selesai.

Mengakhiri Pengkriminalan Korban dan Pendamping Korban

Dalam kasus Sum, kita mendapati rasa keadilan masyarakat yang terlukai telah mendorong menjadi pendukung untuk mendapatkan keadilannya. Solidaritas dalam bentuk bantuan hukum, pemberitaan media massa dan dukungan dana untuk pemulihannya. Hal serupa juga kita dapati dalam kasus BN. Solidaritas ini merupakan modalitas sosial yang kita miliki dalam mendorong pemenuhan hak korban

Namun, apakah cukup? Faktanya, korban kekerasan seksual terus mengalami pengkriminalan, penyiksaan seksual dan victim blaming ketika memperjuangkan haknya.

UU Perlindungan Anak dan UU Perlindungan Saksi dan Korban

Secara substansi hukum sudah banyak kemajuan ketika kita bandingkan masa Sum Kuning, seperti adanya KUHAP, UU Perlindungan Anak dan UU Perlindungan Saksi dan Korban.

Begitupun pada tatanan struktur, Kepolisian sudah terpisah dengan TNI, sistem peradilan pidana lebih terpadu dan tumbuhnya lembaga-lembaga layanan korban. Ternyata belumlah cukup untuk mencegah korban dari pengkriminalan, penyiksaan atau perlakuan yang tidak ramah dalam proses pemeriksaan, dan mempersalahkan korban.

Atas kenyataan tersebut, maka seharusnya hadir payung hukum yang akan memenuhi hak korban, termasuk “hak untuk tidak menuntut pidana dan/atau menggugat perdata atas laporan peristiwa kekerasan seksualnya.

Lantas apakah jika ada jaminan ini korban menjadi kebal hukum? Kontras (2016) dalam penelitiannya mengidentifikasi bahwa untuk menyebut sebagai ‘kriminalisasi’. Haruslah ada motif untuk merugikan korban yaitu dengan melihat rinci latar belakang perkara, khususnya hubungan atau konflik antara Korban (pihak yang melaporkan kepada penegak hukum).

Dengan Pelapor atau pihak lain yang menduga mereka berada dibelakang pelapor, atau konflik antara Korban dengan pihak Penegak Hukum itu sendiri. Yang mereka sebut Komnas Perempuan “dalam rangkaian satu fakta hukum.  Selain latar belakang, indikator lain sebagai berikut:

(i) Adanya ketidakwajaran proses penanganan perkara. Termasuk adanya diskriminasi dalam penanganan perkara maupun keberpihakan yang berlebihan atau tidak wajar kepada pelapor, adanya intimidasi, maupun penyiksaan.

(ii) penggunaan pasal-pasal pidana yang berlebihan, atau tidak tepat dengan peristiwa yang menggambarkan. (iii) Adanya kesengajaan untuk tidak mempercepat penanganan perkara atau penundaan berlarut.

Dengan demikian korban tidaklah kebal hukum atas. Pengkriminalan Korban Kekerasan Seksual untuk hal-hal yang tidak berkaitan dengan upaya mengklaim keadilannya atas kekerasan seksual yang menimpanya.

Jika jaminan hak ini mereka penuhi dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, maka kasus Sum Kuning, P ataupun BN tidak akan kembali terjadi.