Penyelesaian Sengketa tidak bisa dipungkiri lagi dimana usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan industri kreatif merupakan penggerak perekonomian nasional dengan konstribusi dan perannya dalam menciptakan lapangan kerja.
Eksistensi UMKM dan industri kreatif seharusnya tidak diragukan lagi, mengingat sektor ini banyak menyerap tenaga kerja yang terbukti mampu bertahan ditengah-tengah badai krisis ekonomi.
Namun ditengah pertumbuhan UMKM dan industri kreatif yang begitu pesat, maka hal tersebut tidak terlepas dari adanya potensi sengketa bisnis yang dihadapinya. Pertumbuhan UMKM ditengah tren pasar bebas saat ini mengakibatkan sengketa bisnis menjadi salah satu konsekuensi hukum yang tidak dapat dihindarkan.
Perselisihan tersebut dapat terjadi antara pelaku UMKM dengan pelaku bisnis lainnya, sengketa dengan pemodal, hutang piutang dan timbulnya perbuatan melawan hukum. Sengketa yang terjadi rata-rata disebabkan adanya pelanggaran atau ingkar janji atas hubungan hukum yang telah disepakati bersama.
Selain itu kurangnya kehati-hatian dan tidak cermatnya dalam mengantisipasi suatu hubungan hukum menjadi salah satu sumber utama terciptanya sengketa antara pelaku bisnis.
Pengaturan mengenai usaha mikro, kecil dan menengah diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2008. Dimana tujuan pembentukan regulasi ini agar usaha mikro, kecil, dan menengah dapat memperluas lapangan kerja, memberikan pelayanan ekonomi secara luas kepada masyarakat. Berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, serta berperan aktif dalam mewujudkan stabilitas nasional.
Selain itu, usaha mikro, kecil, dan menengah adalah salah satu pilar utama ekonomi nasional yang harus memperoleh kesempatan utama. Perlindungan dan pengembangan seluas-luasnya sebagai wujud keberpihakan yang tegas kepada kelompok usaha ekonomi rakyat tanpa mengabaikan peranan usaha besar dan badan usaha milik negara.
Memilih Bentuk Penyelesaian Sengketa
Sengketa bisnis yang terjadi pada UMKM dan industri kreatif pada umumnya merupakan bentuk sengketa perdata yang dapat diselesaikan melalui jalur non litigasi (diluar pengadilan) dan jalur litigasi (melalui pengadilan).
Tren yang berkembang saat ini bagi pelaku bisnis adalah melalui gugatan perdata di Pengadilan Negeri dan mengajukan permohonan Kepailitan dan PKPU apabila terdapat hutang yang telah jatuh tempo. Gugatan perdata melalui Pengadilan cukup memakan waktu lama karena putusan di tingkat Pengadilan Negeri masih bisa diajukan banding ke Pengadilan Tinggi hingga kasasi ke Mahkamah Agung.
Dengan proses peradilan yang lama dan berjenjang tersebut membuat para pelaku bisnis lebih senang menempuh jalur non litigasi melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR). Penyelesaian sengketa melalui APS telah diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Pelaku bisnis UMKM dan penggiat industri kreatif sebenarnya dapat melirik dan menggunakan forum alternatif penyelesaian sengketa untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Bentuk proses penyelesaian lewat forum di luar pengadilan (out of court settlement) bisa lebih cepat dan memberikan kenyamanan bagi kedua belah pihak.
Dalam forum alternatif penyelesaian sengketa selalu terbuka ruang bagi para pihak untuk bermusyawarah mendapatkan solusi terbaik.
Dalam Pasal 1 ayat 10 UU 30/1999 menjelaskan bahwa. “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak. Yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”.
Pada UU 30/1999 memang tidak mengatur secara rinci mengenai teknis alternatif penyelesaian sengketa tersebut kecuali untuk arbitrase, sehingga hal ini memunculkan berbagai pendapat mengenai definisi dan penafsiran atas teknis pelaksanaan alternatif penyelesaian sengketa tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka akan dijelaskan mengenai model atau bentuk alternatif penyelesaian sengketa berdasarkan UU 30/1999.
Pertama
Negoisasi dalam bahasa sehari-hari sering kita dengar dengan istilah “berunding” atau “bermusyawarah”. Secara umum Negosiasi diartikan sebagai upaya penyelesaian sengketa tanpa melalui proses peradilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerjasama yang lebih harmonis dan kreatif. Disini para pihak berhadapan langsung secara saksama dalam mendiskusikan permasalahan yang mereka hadapi dengan cara kooperatif dan saling terbuka.
Kedua
Selanjutnya Mediasi, forum mediasi sejatinya tidak terlepas dari esensi musyawarah mufakat yang selama ini dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia. Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap netral dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak. Tetapi menjadi fasilitator untuk terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran, dan tukar pendapat untuk mencapai mufakat.
Dengan kata lain, proses mediasi adalah proses di mana pihak luar yang tidak memihak dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa. Untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian secara memuaskan. Umumnya Mediator berperan membantu merumuskan kesepakatan damai dalam proses mediasi antara para pihak yang bersengketa tanpa. Menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Ketiga
Konsiliasi, Huala Adolf dalam bukunya Hukum Perdagangan Internasional menjelaskan bahwa Konsiliasi memiliki kesamaan dengan Mediasi. Kedua cara ini melibatkan pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketa secara damai. Konsiliasi dan Mediasi sulit dibedakan, istilahnya sering digunakan bergantian. Perbedaan kedua istilah ini yaitu “Konsiliasi lebih formal daripada Mediasi”.
Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa dengan menyerahkan kepada suatu komisi orang-orang yang bertugas. Menguraikan/ menjelaskan fakta-fakta dan biasanya setelah mendengar para pihak dan mengupayakan agar mereka mencapai suatu kesepakatan.
Konsiliator akan bertindak selaku penengah yang akan mengusahakan kesepakatan para pihak dengan solusi yang dapat diterima. Yang juga dapat mengajukan anjuran tertulis untuk disetujui oleh para pihak dalam hal kesepakatan tidak tercapai. Poin inilah yang membedakan antara mediator dan konsiliator.
Keempat
Pendapat Ahli, suatu pendapat dari seseorang yang ahli dan bersifat mengikat atau. Pendapat Mengikat (legal binding opinion) juga dapat ditempuh jika para pihak yang bersengketa ingin menggunakan jalur non-litigasi (APS). Para pihak harus bersepakat memilih ahli atau pakar di bidang yang dipersengketakan guna mendapatkan opini hukum yang tepat.
Pendapat ahli tersebut selanjutnya harus dijadikan pegangan para pihak untuk menyelesaikan sengketa sesuai koridor hukum dan kaidah bisnis yang sehat. Para ahli yang dipilih harus memahami aspek hukum dan sekaligus aspek bisnis yang dipersengketakan.
Kelima
Arbitrase, dalam Pasal 1 ayat 1 UU 30/1999 mengatur prinsip arbitrase adalah. “Cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. Berdasarkan hal tersebut maka yang menjadi ciri utama arbitrase adalah harus berupa. “Sengketa Perdata” (bisnis, perdagangan) dan harus terlebih dahulu diatur atau disepakati bersama dalam suatu Perjanjian.
Dalam memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase maka terlebih dahulu para pihak atau pelaku bisnis menyepakati apabila terjadi sengketa. Akan memilih forum atau lembaga arbitrase sebagai tempat penyelesaian perselisihan. Ini biasanya disebut Klausula Arbitrase (Arbitration Clause).
Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa. Atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Para arbiter dipilih dan ditentukan oleh para pihak yang bersengketa dengan tugas menyelesaikan persengketaan yang terjadi di antara mereka. Pemilihan Arbiter seyogyanya didasarkan pada kemampuan dan keahlian dalam bidang tertentu dan dapat bertindak secara netral.
Terdapat beberapa hal penting dari UU 30/1999 diantaranya adalah putusan. Arbitrase dinyatakan sebagai putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dapat langsung dimintakan eksekusi kepada. Pengadilan Negeri (sesuai Pasal 60 jo 62, UU 30/1999). Dan secara eksplisit menetapkan bahwa arbitrase memiliki kewenangan mutlak terhadap. Kewenangan Peradilan Umum sesuai Pasal 3 UU 30/ 1999 yang berbunyi. “Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa yang memiliki klausula Arbitrase”.
Selanjutnya sifat dasar putusan arbitrase yang tidak membuka peluang upaya hukum lanjutan. Ini berbeda dengan putusan hakim yang bisa dilakukan upaya hukum lanjutan jika berperkara di pengadilan.
Secara normal tidak ada upaya hukum lagi terhadap putusan arbitrase. Hasil putusannya final dan mengikat kecuali ada masalah cacat prosedur atau perbuatan melawan hukum seperti penyuapan, tipu muslihat dan pemalsuan (sesuai Pasal 70 UU 30/1999).
Urgensi Pembentukan Badan Arbitrase Khusus UMKM
Pada umumnya yang diketahui oleh para pelaku bisnis. Khususnya pelaku UMKM dan industri kreatif, dimana segala bentuk sengketa akan berakhir di kepolisian ataupun di pengadilan.
Sosialisasi terkait mekanisme alternatif penyelesaian sengketa sangat minim sekali diterima oleh pelaku bisnis UMKM dan industri kreatif. Bahkan di UU 20/2008 tentang UMKM tidak mengatur atau memberikan informasi mengenai bentuk alternatif penyelesaian sengketa.
Untuk itu, peran negara dalam melindungi. UMKM untuk menghadapi pasar bebas harus didasari pada upaya yang konsisten untuk menjadikan kelompok ini sebagai usaha yang tangguh. Dimana hal ini bertujuan agar komoditi yang dihasilkannya akan berpeluang untuk secara aktif diperdagangkan di pasar domestik yang kompetitif.
Bahwa agar hal tersebut dapat terwujud, maka untuk membantu UMKM dalam menjalankan roda perekonomian. Khususnya dalam hal penyelesaian sengketa hukum maka dapat dibentuk lembaga atau badan arbitrase. Yang fokus dalam hal penyelesaian sengketa antara pelaku usaha UMKM.
Saat ini terdapat beberapa badan arbitrase yang memiliki fokus pada bidang penyelesaiannya masing-masing, seperti Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI). Badan Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi Indonesia (BADAPSKI), dan lain sebagainya.
Pembentukan Badan arbitrase
Badan arbitrase khusus UMKM perlu dibentuk dan fokus pada penyelesaian sengketa antara pelaku usaha UMKM. Dimana bentuk dan kriteria UMKM yang dapat berperkara tetap merujuk pada parameter yang ditentukan dalam UU 20/2008. Tentunya badan arbitrase khusus. UMKM beroperasi dan bertindak berdasarkan azas a) kekeluargaan, b) demokrasi ekonomi, c) kebersamaan, d) efisiensi berkeadilan, e) berkelanjutan, f) berwawasan lingkungan, g) kemandirian, h) keseimbangan kemajuan dan i) kesatuan ekonomi nasional.
Pembentukan arbitrase khusus. UMKM di atas sejalan dengan Pasal 33 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan. Bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan. Prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Berdasarkan konsepsi di atas, badan arbitrase khusus UMKM didirikan sebagai tempat penyelesaian sengketa perdata di bidang bisnis UMKM. Dimana badan arbitrase ini tetap memberikan opsi alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana diatur dalam. UU 30/1999 (konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, penilaian ahli dan arbitrase)
Dengan rumusan yang tepat dan ideal di atas, tentunya menjadikan arbitrase sebagai pilihan terbaik bagi para pelaku UMKM untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di antara para pihak dengan tetap mengedepankan hubungan baik kedepannya. Terlebih lagi karena sifat dari penyelesiaan arbitrase yang tertutup, maka kerahasiaan dari perkara yang berjalan tetap terjaga.