Peran Penting Legisatif perkembangan Dinamika tentang Organisasi advokat di Indonesia sejak orde lama, orde baru, hingga reformasi. Bentuk wadah tunggal yang mengacu pada bentuk Single Bar mulai dari masa Peradin. Ikadin hingga Perhimpunan Adovokat Indonesia (Peradi) terbentuk sebagai wadah satu-satunya profesi advokat yang bebas mandiri yang lahir dari perintah. Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat, terbukti tidak berlangsung lama dan hanya bertahan 10 tahun.
Pada 2015, Munas Perhimpunan Adovokat Indonesia (Peradi) pecah menjadi tiga kubu yang masing-masing mengklaim sebagai. Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Pertama adalah Peradi kubu kubu Otto Hasibuan yang di lanjutkan oleh Fauzie Hasibuan. Kedua adalah Peradi kubu Juniver Girsang, dan yang ketiga adalah Peradi kubu Luhut MP Pangaribuan bersama Humprhey Djemat.
Munas Peradi di Makassar tahun 2015, menjadi persoalan yang serius bagi para advokat di indonesia. Sebab diakui atau tidak, sangat berdampak terhadap produktivitas para advokat khususnya yang baru, dalam bergerak dan berkembang masih kebingungan.
Hal ini seharusnya menjadi perhatian semua pihak, khususnya Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung yang memiliki peran untuk menyelesaikan persoalan ini. Dengan bersikap tegas dengan alasan yang objektif sehingga menjadi kepastian hukum. Namun pada faktanya surat Keputusan MA dan pertimbangan MK menyebabkan terjadinya persoalan baru.
Mahkamah Agung tidak memberi batasan oRGANISASI aDVOKAT INDONESIA DALAM Peran Penting Legisatif
Ketidaktegasan dan ketidaktepatan sebenarnya bermula pada Peran Penting Legisatif saat itu kekuasaan kehakiman tidak ingin ikut campur terhadap persoalan Peradi dan KAI. Namun kenyataannya Mahkamah Konstitusi masih belum sepenuhnya mengakui Peradi. Terutama sejak Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan No. 101/PUU-VII/2009 tertanggal 30 Desember 2009. Yang berbunyi bahwa pengadilan tinggi wajib mengambil sumpah advokat tanpa mengaitkan dengan keanggotaan OA (organisasi advokat). Yang secara de facto ada pada saat itu. Dengan frasa tidak mengaitkan keanggotaan. OA pada waktu itu memberikan peluang bagi organisasi lain untuk berkembang dan peluang terbentuknya organisasi baru selain Peradi. Terbukti hingga saat ini organisasi lain tersebut memanfaatkan interpretasi mahkamah tertinggi yang akibatnya semakin memperluas persoalan.
Seharusnya yang menjadi perhatian Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung begitupun dengan. Pemerintah yang harus di intervensi itu berkaitan dengan persoalan pasca munas tahun 2015 di makassar. Tapi dalam kenyataanya Mahkamah Agung mengintervensi terlalu dalam berkaitan dengan kewenangan penyumpahan pada. Surat KMA No. 73/KMA/HK.01/IX/2015 tertanggal 25 September 2015 terkait dengan memberi kewenangan kepada. Pengadilan Tinggi (PT) untuk melakukan penyumpahan kepada advokat yang memenuhi syarat dari organisasi advokat manapun.
Dalam keputusannya, Mahkamah Agung tidak memberi batasan kepada Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Dan delapan Organisasi Advokat yang tercantum dalam Undang-undang Advokat, hal itu semakin memperluas persoalan advokat. Artinya secara tidak langsung MA memberikan peluang organ lain diluar peradi untuk tetap eksis. Oleh sebab itu sampai sekarang bisa dikatakan organisasi advokat sudah berkembang pesat hampir mencapai puluhan organisasi advokat. Persoalannya bukan lagi mengenai internal Peradi lagi tapi persoalan diluar peradi akibat keputusan MA yang tidak konsisten.
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi berkenaan dengan Asas kebebasan berserikat dan berkumpul dalam Putusan No 035/PUU-XVI/2018. Yang dijadikan sebagai pertimbangan MK dengan alasan menjamin hak konstitusional. Secara ekpilisit guna mengakui keberadaannya advokat yang diluar Peradi tersebut, itu tidak tepat.
Sebab advokat merupakan profesi yang terhormat (officium nobile) yang seharusnya dalam prosesnya. Ada kualifikasi yang ketat mulai dari kompetensi dan pengawasan kode etik. Sehingga tidak sembarang orang dapat masuk.
Bukan dengan adanya organisasi yang banyak. Baru berkembang terus mengatasnamakan organisasi advokat. Lalu di dipermudah dengan pertimbangan diatas, hal semacam itu malah semakin memperluas persoalan bukan menyelesaikan persoalan.
Advokat merupakan catur wangsa penegak hukum, sebanding dengan polisi jaksa hakim yang bekerja untuk melaksanakan tugas negara ,advokat di dalamnya bekerja untuk memberikan jasa kepada para pencari keadilan. Artinya jikalau organisasi advokat yang lain atau yang baru, dilegalkan dengan asas kebebasan berserikat, secara tidak langsung pertimbangan tersebut merendahkan marwah advokat karna advokat tidak bisa disamakan dengan partai politik dan lembaga swadaya masyarakat (lsm), organisasi kemasyarakatan (ormas).
Mahkamah Konstitusi melegalkan organ lain kedokteran
Kalau memang seperti itu dapat dianalogikan tehadap profesi kedokteran, apabila ada sebagian dokter yang masing-masing membuat organisasi kedokteran, dan memohon untuk di legalkan dan diberikan kewenangan dengan mudah tanpa kualifikasi tertentu. Misalnya Mahkamah Konstitusi melegalkan organ lain kedokteran dengan memberikan kewenangan atas dasar kebebasan berserikat maka yang terjadi akan organ tersebut tambah banyak dan meluas dan mengakibatkan penaganganan kesehatan dan pengawasan kode etik tidak terkontrol.
Sebab masing-masing organiasi kedokteran tersebut mengklaim memiliki kewenangan yang sama. Misalnya dalam profesi kedokteran ada oknum yang melanggar kode etik di organisasinya. Maka bisa saja berpindah ke organisasi lain untuk memulihkan keanggotannya, seperti halnya yang terjadi dalam profesi advokat saat ini.
Analogi diatas dapat menyebabkan rendahnya marwah sebuah profesi, yang berakibat fatal dalam penanganan kesehatan dalam profesi kedokteran dan penegakan hukum pun akan kacau dalam profesi advokat.seperti itulah akibat dari pertimbangan tersebut.
Padahal MK pernah tegas dalam putusannya dan tidak memperluas persoalan. Dalam Putusan MK No. 014/PUU-IV/2006 halaman 57. Peran Penting Legisatif Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan sebagai berikut: bahwa Pasal 32 Ayat (3) dan Ayat (4) UU Advokat sesungguhnya merupakan pasal yang sudah selesai dilaksanakan dengan telah berlalunya tenggat dua tahun dan dengan telah terbentuknya PERADI sebagai Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, sehingga tidak relevan lagi untuk dipersoalkan konstitusionalitasnya. Selain itu, Pasal 32 Ayat (3) UU Advokat pernah dimohonkan pengujian kepada Mahkamah yang oleh Mahkamah dalam Putusannya Nomor 019/PUU-I/2003 telah dinyatakan ditolak.
Berdasarkan putusan diatas dapat diartikan dalam putusan terbarunya Mahkamah Konstitusi, mengalami kemunduran dari ketidak konsistenannya, dalam pertimbangan putusan nomor 035/PUU-XVI/2018, atas jaminan hak berserikat dan berkumpul dijadikan alasan untuk meberikan nafas kepada organisasi lain, selain Peradi yang di maksud, maka dapat diartikan Mahkamah Konstitusi bukan fokus persoalan peradi yang berselisih di tahun 2015, tapi fokus terhadap organ lain yang berasalan hak konstitutionalnya tak dipenuhi, agar bisa eksis sebagai organisasi advokat.
kONSEP Peran Penting Legisatif rIVIEW TERHADAP RUU
Seharusnya apabila Peran Penting Legisatif alasan hak berserikat dan berkumpul dan dijadikan dasar untuk menjamin hak konstitutional, organisasi lain atau yang baru tersebut, seharusnya menguatkan alasan tersebut dengan konsep. Tentunya konsep tersebut di ajukan legislatif review terhadap RUU advokat yang baru di inginkan. Sebab ketika hanya judicial review di Mahkamah Konstitusi, yang ada hanya dapat memperluas persoalan. Faktanya permohonan judicial review berkaitan dengan persoalan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang advokat belum menyelesaikan persoalan.
Oleh karena itu agar tidak berlarut-larut konsep-konsep bentuk advokat yang ideal lebih efisien harus di ajukan melalui Legislatif Review oleh para tokoh organisasi advokat di Indonesia.