Asas dan Doktrin mengenai soal permenristekdikti nampaknya belum akan berakhir. Dari pengamatan sekilas, ada 3 pihak yang berbeda pandangan. Pihak pertama tentu kelompok pendukung permenristekdikti, pihak kedua yang kontra permenristekdikti dengan alasan perlu memasukkan norma agama, dan pihak ketiga adalah yang berada di tengah seperti Muhammadiyah yang meminta revisi.
Frasa Persetujuan Korban Atas Asas dan Doktrin
Perdebatan sesunggunnya adalah soal frasa persetujuan korban yang Pasal atur pada 5 Permenristekdikti. Setidaknya ada 6 frasa persetujuan korban yang muncul di pasal 5 itu:
- memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;
- mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
- mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban.
- menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban.
- menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban.
- membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban.
Secara umum, saya sih memandangnya aturan ini baik dan tujuannya sangat mulia. Untuk mendorong agar perguruan tinggi bisa terbebas dari berbagai kekerasan seksual. Selain itu ada mekanisme pemulihan yang bisa kita lakukan oleh perguruan tinggi.
Akan tetapi, dalam bacaan saya yang ilmunya rendah ini, saya melihat ada ketidakpercayaan tinggi terhadap hukum, sistem hukum, termasuk kepada para ahli hukum.
Kenapa Wajib Merincikan Asas dan Doktrin?
Sederhana saja, Pasal 5 permenristekdikti pada dasarnya berbicara mengenai bentuk – bentuk kekerasan seksual. Permenristekdikti ini sebenarnya membuat rincian kedalam 21 bentuk kekerasan seksual.
Pertanyaan pentingnya adalah kenapa perlu merinckani dan memasukkan kedalam aturan? Saya sendiri nggak menemukan alasan yang jelas. Akan tetapi menurut saya, bentuk-bentuk kekerasan seksual ini sebenarnya cukup menjadi doktrin dan belum tentu kita perlukan untuk membuat dalam rincian di aturan tertulis.
Namun memang ada kecenderungan memasukkan doktrin kedalam aturan tertulis. Contoh sederhana, permenristekdikti ini memuat asas yang diatur di Pasal 3. Lagi – lagi, saya masih belum paham kenapa suatu asas hukum harus masuk kedalam aturan tertulis.
Dugaan saya, yang tentu belum pasti benar, ada ketidakpercayaan yang tinggi di masyarakat terhadap hukum, sistem hukum, dan juga para ahli hukum. Seakan – akan kalau tidak dituliskan maka asas hukum dan doktrin hukum menjadi tidak berlaku.
Selain itu juga ada anggapan, yang lucunya diterima oleh umum, jika asas hukum tidak dituliskan maka para ahli hukum tidak akan menaruh perhatian terhadap keberlakuan asas hukum dan doktrin hukum tersebut.
Kalau dugaan saya ini benar, maka sebenarnya sungguh sulit untuk melakukan reformasi di bidang hukum. Dengan ketidakpercayaan yang demikian tinggi, tentu masuk akal kalau menjadi viral ataupun “main hakim sendiri” adalah metode paling ampuh untuk menegakkan hukum.