Putusan Peninjauan Kembali Perkara Terpidana Djoko Soegiarto Tjandra Batal Demi Hukum?

admin

Putusan Peninjauan Kembali Perkara Terpidana Djoko Soegiarto Tjandra Batal Demi Hukum

Terpidana Djoko Soegiarto Tjandra. Sempat mereka titipkan oleh Kejaksaan Agung di Rutan Mabes Polri guna memudahkan pemeriksaan dalam tingkat Penyidikan perkara penerbitan surat jalan, rekomendasi, dan aliran dana yang masih terkait dengannya.

Kuasa hukum Djoko S. Tjandra, Otto Hasibuan pada tanggal 2 Agustus (innews.co.id) menyatakan bahwa tindakan Kejaksaan Agung menitipkan Kliennya di Rutan Mabes Polri (atau menurut Otto: ‘menahan’) tersebut tidak berdasarkan atas hukum.

Alasannya, dalam Amar Putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor:

12PK/Pid.Sus/2009 oleh Mahkamah Agung, tidak memuat perintah kliennya yang akan kita tahan atau tetap dalam tahanan. Menurutnya, tidak adanya Amar Putusan yang mereka maksud menyebabkan. Putusan PK tersebut batal demi hukum yang bedasarkan atas Pasal 197 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) juncto Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP.

Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas Pengujian Undang-Undang Nomor: 69/PUU-X/2012 yang dalam Amarnya menyatakan bahwa Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP. Inskonstitusional sepanjang yang mereka pahami bahwa tidak bisa terpenuhinya Pasal tersebut menyebabkan putusan batal demi hukum.

Pendapat Otto Hasibuan Terhadap Keputusan PK Djoko Soegiarto Tjandra

Otto Hasibuan berpendapat bahwa Putusan MK mereka maksud tidak dapat kita implementasikan terhadap Putusan PK dalam perkara Terpidana Djoko S. Tjandra.

Alasannya (apabila hal ini kita berlakukan), bertentangan dengan asas non-retroaktif. Artinya, menurut Otto Hasibuan Putusan MK pada Tahun 2012 tidak dapat berlaku surut terhadap. Putusan MA dalam mengadili PK Terpidana Djoko S. Tjandra pada Tahun 2009.

Dengan alasan tersebut, Otto menganggap Pasal 197 ayat (1) huruf k tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga keputusan MA mengenai PK atas nama Terpidana Djoko S. Tjandra batal demi hukum, sehingga (yang mereka sebut) ‘Penahanan’ atas kliennya tersebut tidak berdasar hukum.

Pertanyaan mendasar yang perlu kami jadikan sebagai landasan pembahasan pada tulisan ini, yaitu benarkah bahwa tindakan. Kejaksaan Agung tidak berdasar atas hukum, sekaligus Putusan PK dalam perkara Terpidana Djoko S. Tjandra batal demi hukum berdasarkan Pasal 197 ayat (2) KUHAP juncto Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP?

Paradigma Hukum Normatif Saat Menyelesaikan Perkara

Dasar hukum mutlak harus kita jadikan sebagai referensi utama untuk menganalisa pertanyaan tersebut, guna mendapatkan kesimpulan atau jawaban yang objektif, menghindari persepsi atau anggapan dan pendapat yang subjektif. Serta tetap berpegangan pada paradigma hukum normatif untuk menyelesaikan perkara hukum dalam Negara Hukum Indonesia.

Hal ini mereka tentukan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k bahwa “Surat putusan pemidanaan memuat:

(salah satunya) a. …; b. …; dst. k. perintah supaya terdakwa yang mereka tahan atau tetap dalam tahanan dan dapat kami bebaskan; l. …”, dan dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP sudah mereka tentukan “. Tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, i, j, k, dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.”

(Perlu kita jadikan catatan bahwa setelah adanya Putusan MK Nomor: 69/PUU-X/2012 dan 68/PUU-XI/2013, maka Pasal 197 ayat (1) huruf k dan l tidak mempunyai kekuatan mengikat. Sehingga Pasal 197 ayat (2) KUHAP selengkapnya menjadi “. Tidak dapat terpenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, dan j pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum”.)

Apakah Djoko S. Tjandra Seorang Terdakwa?

Apakah Djoko S. Tjandra seorang Terdakwa? Bukan. Djoko S. Tjandra bukanlah seorang Terdakwa sebagaimana yang mereka maksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 15 dan Pasal 1 angka 12 KUHAP. Djoko S.

Tjandra bukanlah seorang Terdakwa pada saat Pemeriksaan PK atau pada saat Putusan PK yang mereka bacakan oleh Hakim. Karena statusnya sebagai Terdakwa telah berakhir dengan dasar Putusan Kasasi Nomor: 1688K/PID/2000, hal tersebut menyatakan bahwa Djoko S. Saat Terpidana Djoko Soegiarto Tjandra lepas dari segala tuntutan hukum (onstlag van rechtsvervolging).

Sebagai tambahan, adanya Putusan Kasasi atas perkara Djoko S. Tjandra sebenarnya sudah cukup untuk menyatakan bahwa Djoko S. Tjandra bukanlah seorang Terdakwa. Karena Putusan Kasasi merupakan Putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap berdasarkan. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang–Undang Nomor 5 tahun 2010 tentang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Sehingga status Terdakwa tidak lagi melekat pada Djoko S. Tjandra setelah Putusan Kasasi sudah mereka jatuhkan.

Selain itu, dalam pemeriksaan PK, Djoko S. Tjandra tidak dapat kami tahan dan sebenarnya memang dalam pemeriksaan PK tidak memerlukan adanya Penahanan. Secara umum dan regulatif, PK kami ajukan pada saat seseorang telah berstatus sebagai.

Terpidana dan dapat kita ajukan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Sebagaimana yang mereka maksud dalam ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP.

Pada pokoknya, Penahanan hanya akan penyidik lakukan atau penuntut umum dan hakim melalui penetapannya berdasarkan Pasal 1 angka 21 dan Pasal 20 KUHAP.

Perkara Pidana Djoko Soegiarto Tjandra

Dengan batasan bahwa yang kita maksud dengan hakim (perkara Pidana) dalam Pasal tersebut, yaitu hakim Pengadilan Negeri, hakim Pengadilan Tinggi untuk pemeriksaan Banding.

Sehingga hakim Mahkamah Agung yang memeriksa perkara pada tingkat. Kasasi sebagaimana yang mereka tentukan dalam Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28 KUHAP.

Hal ini kami tentukan jelas secara eksplisit dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k bahwa keputusan yang harus memuat perintah bisa menahan atau tetap dalam tahanan atau bisa kita bebaskan.

Merupakan putusan yang dapat kami tujukan untuk mengadili perkara seorang Terdakwa, bukan untuk mengadili selain Terdakwa. Dengan alasan bahwa Djoko S.

Dia bukanlah seorang Terdakwa dan dalam pemeriksaan PK Djoko S. Sehingga tidak akan mereka tahan, maka dengan penalaran yang wajar Putusan PK pada kasus Djoko S.

Tjandra yang kita maksud tidak perlu memuat perintah Terdakwa untuk kami tahan atau tetap dalam tahanan atau untuk kami bebaskan, karena Terpidana Djoko Soegiarto Tjandra tidak berstatus sebagai seorang Terdakwa, dan untuk itu Putusan PK tersebut tidak batal demi hukum.

Adapun tindakan Kejaksaan Agung yang sudah kami sebutkan di awal merupakan tindakan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (eksekusi), bukan melakukan penahanan yang notabenenya mereka lakukan untuk kepentingan pemeriksaan dalam tingkat Pengadilan Negeri, Banding, dan Kasasi.