Penerapan Pasal 71 KUHP Dalam Perkara Perbarengan Tindak Pidana Yang Diajukan Terpisah

admin

Penerapan Pasal 71 KUHP Dalam Perkara Perbarengan Tindak Pidana Yang Diajukan Terpisah

Penerapan Pasal 71 KUHP seorang terdakwa yang sedang kami periksa perkaranya di persidangan. Bisa saja berstatus sedang menjalani pidana berdasarkan putusan hakim. Terdahulu atau sedang kita adili juga dalam perkara lain karena dakwaan atas beberapa perbuatan tersebut kami pisahkan oleh Penuntut Umum.

Sekalipun perbuatan-perbuatan itu sebenarnya kita lakukan dalam waktu yang hampir bersamaan. Yang didalamnya bisa mengandung perbarengan tindak pidana, sebagaimana sudah kami atur dalam pasal 64 atau 65 KUHP.

Bagi Terdakwa yang perkara-perkaranya kami ajukan bersamaan ke pengadilan dan statusnya tahanan. Maka di salah satu berkas, status tahanannya akan berbunyi “Terdakwa kami tahan dalam perkara lain.

Bagi Terdakwa yang perkaranya kami ajukan setelah dia menjalani pidana yang dijatuhkan dalam perkara sebelumnya. Maka seharusnya bunyi keterangan status penahanannya adalah “Terdakwa sedang menjalani pidana

Persoalannya adalah, ada sebagian penegak hukum yang berpendapat bahwa terdakwa yang berada dalam kondisi seperti tersebut di atas. Dalam perkara yang kita adili belakangan, statusnya adalah residivis.

Pertanyaannya adalah, benarkah statusnya residivis, atau ia sebenarnya melakukan perbuatan yang kita kategorikan sebagai perbarengan tindak pidana? Saya akan mencoba membahasnya.

Residivis

Seseorang menyandang status residivis jika dia melakukan pengulangan tindak pidana setelah ia selesai menjalani seluruh atau sebagian masa pidananya. Bisa juga seorang terpidana melakukan tindak pidana saat ia menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan.

Ancaman pidana maksimal dalam ketentuan pidana tertentu bahkan dapat bertambah sepertiganya jika ia melakukan pengulangan tindak pidana. Dalam jangka waktu tertentu sebagaimana yang sudah kami atur dalam KUHP bab XXXI pasal 486, 487 dan 488.

Perbarengan Tindak Pidana

Sedangkan mengenai perbarengan tindak pidana, kami atur dalam KUHP bab VI, mulai pasal 63 sampai dengan pasal 71.

Perbuatan Terdakwa dapat mengandung perbarengan tindak pidana baik dalam bentuk satu perbuatan yang mengenai lebih dari satu ketentuan pidana (concursus idealis), perbuatan yang berlanjut, atau perbarengan beberapa perbuatan yang berdiri sendiri, yang masing-masing mengatur dalam ketentuan pidana berbeda-beda (concursus realis).

Selanjutnya, kita perlu memperhatikan pasal 71 KUHP, yang berbunyi “Jika seseorang telah kami jatuhi pidana, kemudian menyatakan bersalah lagi karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain.

Sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu kami hitung pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam bab ini (Bab VI) mengenai hal perkara-perkara yang kita adili pada saat yang sama

Ketentuan pasal 71 KUHP tersebut di atas, telah memperkirakan adanya perkara yang mengajukan terpisah-pisah. Sekalipun perbuatan terdakwa memenuhi kriteria perbarengan tindak pidana dan memungkinkan melakukan penggabungan dalam satu surat dakwaan.

Selain itu, ketentuan pasal 71 KUHP ingin memastikan pidana yang akan kami jatuhkan hakim kepada terdakwa tidak melebihi dari ketentuan penjatuhan pidana maksimal atau melanggar ketentuan lain terkait penjatuhan pidana, antara lain sebagaimana termuat dalam pasal 63 ayat (1), pasal 64  ayat (1), pasal 65 ayat (2), pasal 66 ayat (1), atau pasal 67 KUHP.

Konteks Paradigma Pemidanaan

Terdakwa yang melakukan perbarengan tindak pidana, tidak boleh kita samakan begitu saja dengan terdakwa yang berstatus residivis. Penjatuhan pidana dapat menjadi terlalu berat, jika kita bandingkan perkara perbarengan tersebut yang mengajukan dalam satu berkas dan menggabungkan dalam satu surat dakwaan.

Bahkan, lebih jauh menurut saya, dalam konteks paradigma pemidanaan saat ini, agar kepada terdakwa kami jatuhi pidana yang tidak terlalu jauh dari pola penjatuhan pidana dalam perkara-perkara sejenis (yang mengajukan dalam satu surat dakwaan) yang variabel-variabelnya tidak jauh berbeda.

Menurut saya, dalam keadaan perbarengan tindak pidana, adanya keadaan memberatkan  yang biasanya mencantumkan dalam surat tuntutan atau putusan hakim, bukanlah karena terdakwa sudah pernah mereka jatuhi pidana, melainkan karena perbarengan tindak pidana itu sendiri.

Mencantumkan keterangan bahwa terdakwa sudah pernah mereka jatuhi pidana dalam perkara perkara yang seharusnya kami anggap sebagai perkara perbarengan, akan membuat rancu antara konsep residivis dan perbarengan tindak pidana.

Memperbaiki Manajemen Administrasi Perkara

Dari sisi manajemen perkara, Penuntut Umum harus berkoordinasi satu sama lain jika menangani perkara-perkara yang ada kaitannya seperti ini. Tujuannya agar pengajuan tuntutan, khususnya lagi dalam hal permohonan penjatuhan pidana kepada hakim, menjadi proporsional sebagaimana yang telah kami amanatkan pasal 71 KUHP.

Termasuk saat proses pelimpahan perkara ke pengadilan negeri, seyogyanya menerangkan dan terdapat catatan khusus yang menjelaskan bahwa perkara tersebut sesungguhnya adalah perkara perbarengan yang mereka ajukan terpisah, serta alasan-alasan yang melatar belakanginya.

Demikian pula di pengadilan negeri. Perkara-perkara yang ada kaitannya sebisa mungkin diadili oleh Majelis Hakim yang sama. Penerapan Pasal 71 KUHP jika tidak dimungkinkan, maka antar Majelis Hakim sepatutnya bersedia berdiskusi dan berkoordinasi mengenai penjatuhan pidana. Dengan kultur yang demikian, maka diharapkan usaha mewujudkan keadilan untuk semua, menjadi maksimal.