Negeri yang Kreatif

Perkiraan Waktu Membaca: 5 menit
5
(2)

Saya selalu mengernyitkan dahi kalau ada orang bilang bahwa negeri ini defisit kreativitas. Mungkin yang mereka lihat adalah bahwa negeri ini tidak bisa menghasilkan super komputer. Tidak menghasilkan mesin-mesin canggih yang memanjakan hidup manusia.

Tidak, kawan! Negeri ini adalah negeri yang kaya sekali dengan kreativitas. Pernah lihat mesin pengiris (slicer) manual yang terbuat dari kayu dan pisau tipis yang diambil dari pisau cutter? Dengan mesin ini, pembuatan kripik tempe jadi lebih efisien.

Juga, saya sering masygul kalau ada yang mengatakan bahwa kewirausahaan di negeri ini sangat tipis. Tidak juga. Janganlah kau lihat kewirausahaan itu model Nadiem Makarim yang bikin GoJek atau William Tanuwijaya dan Leontinus Alpha Edison yang bikin Tokopedia.

Mau ikut jadi Advokat? Segera ikut Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Angkatan XIII yang dimulai pada November 2022.

Segera daftarkan diri melalui ICJR Learning Hub

Tapi lihatkah bagaimana telur gulung diciptakan dan menjadi bisnis kaum melata untuk bertahan hidup. Bagaimana orang-orang jelata membikin apa saja untuk bertahan hidup.

Oh, apa? Sang Gedhang dan Martabak Berkobar? Nilailah sendiri kewirausahaan mereka. Sebab tidak mungkin pedagang Pisang Aroma atau Roti Gembong jadi walikota atau beli saham seharga ratusan milyar, yakan? Jadi, bukan. Bukan itu maksud saya. Sang Gedhang dan Martabak Berkobar itu adalah kewirausahaan dengan bohir yang thohir, eh tajir.

Kewirausahaan itu bukan hanya mengandalkan inovasi. Dia juga mengandalkan kekuatan untuk bisa bersaing. Kadang seseorang yang berusaha (berbisnis) tidak punya kekuatan. Dia butuh kekuatan lain supaya mengalahkan saingan-saingannya. Dan di dunia modern ini, yang paling berkuasa adalah negara. Makanya siapa saja yang menempel pada kekuasaan negara, dialah yang unggul.

Itu tidak terjadi pada lapisan elit saja. Juga di kalangan rakyat melata. Kemarin rame diberitakan pada pekerja migran yang datang dari luar negeri harus membayar 35-40 ribu untuk satu cup mi instan! Ini terjadi karena mereka harus menunggu 6-12 jam sebelum masuk karantina. Dan tidak disediakan makanan atau minuman.

Wirausaha-wirausaha baru muncul untuk ‘membantu’ kaum pahlawan devisa ini melepas lapar dan dahaga. Sebenarnya itu tidak diperbolehkan. Tapi pasar terbentuk karena kebutuhan dan pasar dilindungi oleh para aparat negara — yang cukup bertoleransi terhadap kegiatan pasar itu, duduk manis, dan bisa menyumpal kantongnya dengan segembol duit.

Kawan, kalau kau merindukan Orde Baru, sekarang tidak usah pakai mesin waktu. Kau cukup karantina saja. Kau akan lihat bagaimana orang-orang berseragam itu menjajakan toleransi. Maksudnya, mereka toleran membiarkan proses jual-beli yang seharusnya tidak boleh terjadi. Mereka cukup toleran saja pada kegiatan dagang itu dan cuan masuk dengan deras. Mulai dari segelas teh hingga taksi ke bandara atau stasiun kereta.

Ironinya disini adalah bahwa orang dan institusi yang seharusnya melaksanakan dan menjaga kebijakan negara kemudian menjajakannya. Dalam bahasa akademisnya, ini adalah tingkah laku predatorial.

Dan para predator itu selalu saja berasal dari orang yang memiliki kekuasaan. Betapapun kecil kekuasaan itu. Kalau kita kembali ke kreativitas, ya bangsa kita ini sangat kreatif. Bahkan ketika melakukan kecurangan.

Dimana di dunia ini orang mau menjadi joki untuk vaksin? Joki adalah seseorang yang dibayar untuk disuntik vaksin. Istilah joki ini muncul ketika ujian masuk perguruan tinggi dimana seseorang dibayar untuk mengerjakan ujian orang lain.

Kalau vaksin saja ada wirausahawan yang mau membisniskannya, Anda berani bilang kalau inovasi dan kewirausahaan negeri ini rendah?

Apakah Bahasan ini Menarik?

Klik untuk memberikan penilaian!

Rata - rata penilaian 5 / 5. Penilaian terhitung: 2

Belum ada penilaian! Berikan penilaian anda untuk bahasan ini.

Karena anda telah memberikan nilai...

Jangan lupa bagikan di media sosial!

Made Supriatma, lahir di Denpasar, Bali, pada 1966. Dia pernah bekerja sebagai peneliti di Lembaga Studi Realino (LSR), Yogyakarta. Semasa di lembaga itu, dia aktif melakukan penelitian tentang politik kebudayaan, militer dan militerisme, serta masalah-masalah etnis Tionghoa. Belakangan ini dia mengarahkan perhatian pada politik identitas, konflik, dan kekerasan. Saat ini bekerja sebagai Visiting Research Fellow di ISEAS - Yusof Ishak Institute, Singapore

One Reply to “Negeri yang Kreatif”

Leave a Reply