Menilik Pelaksanaan Prosedur Keadilan Restorative Justice Pada Kasus Lesti Billar

admin

Menilik Pelaksanaan Prosedur Keadilan Restorative Justice Pada Kasus Lesti Billar

Banyak Netizen bahkan praktisi hukum sekalipun berkomentar dan menilik terkait kasus restorative justice yang menimpa Lesti dan Rizki Billar. Umumnya netizen menyatakan rasa kecewanya terhadap sikap Lesti yang mencabut laporan Perkara KDRT.

Selain netizen, para praktisi hukum juga tak luput berkomentar mengenai pencabutan laporan tersebut setelah ditetapkannya Rizki Billar sebagai tersangka. Beberapa tanggapan dari para praktisi hukum tersebut dapat digolongkan dalam dua bagian besar yaitu:

Pertama

KDRT merupakan delik aduan artinya Lesti sebagai pengadu/pelapor dapat mencabut laporannya kapapun. Dan proses hukum terhadap Rizki Billar tidak dapat dilanjutkan/berhenti.

Kedua

Tindak pidana yang dilaporkan Lesti adalah delik biasa artinya meski Lesti mencabut laporanya, namun proses hukum dapat terus dilanjutkan.

Penganut golongan kedua ini salah satunya adalah advokat senior, Hotman Paris Hutapea, dalam akun instagramnya beliau menyatakan

“ini Undang Undang KDRT:jadi yang delik aduan hanya pasal 44 ayat 4, yang dilaporkan pasal 44 ayat 1 yang bukan delik aduan tapi delik biasa sehingga kasus tidak otomatis berhenti walupun dicabut pelapor”.

Akan tetapi, terlepas dari perdebatan mengenai kualifikasi delik, dalam hal ini delik biasa ataupun delik aduan, namun pada perkara ini dapat diterapkan prinsip keadilan restoratif (Restorative Justice). Dalam prinsip keadilan restorative, seluruh pihak baik pelapor maupun terlapor/tersangka tersebut dapat menggunakan haknya untuk memohon mencabut suatu laporan. Dan atau dengan melalui upaya lain seperti upaya perdamaian/Restorative tanpa melihat pasal yang disangkakan tersebut delik aduan/biasa. Dengan pengecualian pasal yang disangkan tersebut bukan tindak pidana luar biasa.

Upaya Perdamaian

Upaya Perdamaian adalah salah satu mekanisme dalam Keadilan Restorative (Restorative Justive), yang diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021. Berbeda dengan upaya diversi pada UU SPPA, meski telah diatur dalam Peraturan Kapolri. Namun dalam pelaksanaanya masih belum terdapat prosedur dan mekanisme yang tepat mulai dari klasifikasi kasus tindak pidananya serta Petunjuk Teknis yang jelas dan tepat. Terkesan aturan tersebut masih diatas awang-awang.

Dengan menilai secara obyektif, langkah pihak kepolisian dalam menerima pencabutan laporan dan membebaskan tersangka tersebut sah jika mekanisme perdamaian kasus Lesti Bilar tersebut menggunakan dasar dari Perkap No.8 Tahun 2021. Dan Lesti sebagai pelapor secara hukum tidak melanggar proses penegakan hukum atas sikapnya mencabut laporan, meski Suaminya telah ditetapkan jadi tersangka. Lesti dalam pandangan hukum telah menggunakan hak-haknya sebagai warga Negara.

Namun secara moral, kasus restorative justice Lesti Billar telah mendapat perhatian besar dari masyarakat yang simpatik kepadanya. Sehingga sikap demikian telah mengecewakan banyak pihak yang memberikan simpatinya dan terkesan mendramatisir serta mempermainkan proses penegakan hukum di Indonesia.