Mempertanyakan Pedoman Interpretasi Hukum tentang UU ITE

admin

Mempertanyakan Pedoman Interpretasi Hukum tentang UU ITE

Interpretasi Hukum tentang UU ITE menurut pernyataan Menkominfo melalui siaran persnya yang mendukung. Mahkamah Agung, Kepolisian, Kejaksaan, dan Kementerian/Lembaga terkait dalam membuat pedoman intepretasi resmi terhadap UU ITE, wajib kita pertanyakan bersama.

Sebagai praktisi hukum, tentu saya menyayangkan niatan tersebut, karena pedoman tersebut bukan merupakan suatu norma hukum. Sehingga apabila tetap membuat sudah pasti tidak mengikat karena bukan peraturan perundangan.

Selain itu yang seharusnya kita lakukan adalah meninjau ulang pengaturan. ITE dengan melihat dan berdasarkan kepada hierarki peraturan perundang undangan  mulai dari. Interpretasi Hukum tentang UU ITE, Peraturan Pemerintah selanjutnya dengan Peraturan Menteri dan seterusnya.

Tidak ada pedoman interpretasi hukum

Jika merujuk pada hirarki peraturan perundang – undangan, interpretasi otentik pada batang tubuh dan norma dalam. Interpretasi Hukum tentang UU ITE dapat kita lihat dalam Bagian Penjelasan.

Merujuk pada Lampiran II UU Nomor 12/2011 sebagaimana telah kami ubah dengan UU Nomor 15/2019 tentang. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,  menyatakan Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh.

Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat kita sertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang tersebut.

Dalam konteks interpretasi hukum sendiri, dalam teori yang kita kenal beberapa metode interpretasi yaitu ada hermaunetik, gramatikal, historis, dll. Yang menjadi pertanyaannya adalah metode intrepetasi mana yang mau kita pakai dalam pedoman yang akan mereka buat tersebut? Apakah semuanya metode interpretasi hendak kita gunakan dalam pedoman?

Dalam konteks interpretasi hukum, menurut saya itu merupakan domain dari hakim, bahkan hakim sendiri membatasi dalam melakukan interpretasi yaitu hanya memperkenankan terhadap pasal2 yang tidak jelas dan itupun berbeda dalam kasus per kasus.

Ada baiknya para para Menteri dan kelembagaan yang terkait dalam menyikapi Interpretasi Hukum tentang UU ITE tidak membuat istilah-istilah yang tidak dikenal dalam hukum dan karenanya saran Presiden Jokowi yang menyatakan apabila UU ITE banyak pasal-pasal karet maka harus direvisi harus diwujudkan melalui langkah Revisi UU ITE terhadap pasal-pasal yang bermasalah sesuai dengan mekanisme perubahan UU demi kepastian hukum.