Memperbarui Arah Politik Pembaruan Hukum Pidana

admin

Memperbarui Arah Politik Pembaruan Hukum Pidana

Memperbarui Arah Politik pembahasan RUU Pidana atau Rancangan KUHP oleh pemerintah dan DPR telah memasuki babak akhir. Pemerintah dan DPR dikabarkan akan segera mengesahkan Rancangan KUHP tersebut. Meski masih menuai perdebatan substansial, akan tetapi Wakil Menteri Hukum dan HAM. Dalam Rapat Dengar Pendapat di DPR bersikukuh jika RKUHP telah sesuai dengan misi dan tujuan pembentukan RKUHP serta siap untuk disahkan

Sebagai sebuah Negara yang memenangkan kemerdekaannya melalui sebuah revolusi, jejak kolonialisme di Indonesia cenderung untuk dilenyapkan. Tak terkecuali jejak dalam bentuk hukum. Tak heran jika misi pertama dalam politik pembaruan hukum pidana adalah dekolonisasi hukum pidana

Misi ini dicanangkan secara lugas dalam Sebuah Seminar Hukum Nasional pada 1960-an. Seminar yang menghadirkan para guru besar di bidang hukum memang dirancang khusus untuk menghapus jejak kolonialisme di sektor hukum. Tentu saja, seminar ini tidak hanya berbicara mengenai hukum pidana semata, namun juga berbagai disiplin ilmu hukum. Salah satu klaim keberhasilan misi dekolonisasi adalah lahirnya UU Pokok Agraria.

Aturan Zaman Hindia Belanda

Saat ini, meski masih ada sejumlah aturan jaman Hindia Belanda yang masih berlaku. Namun gaung dekolonialisasi justru paling bergemuruh di hukum pidana. Akan tetapi misi dekolonisasi hukum justru pertama kali melakukan di Hukum Pidana. Pada 1946, pemerintah mengeluarkan UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

KUHP Hindia Belanda menjadi satu – satunya regel Hindia Belanda yang selepas proklamasi langsung melakukan dekolonisasi. Memang, bahasa resmi yang tercantum dalam KUHP yang kita gunakan hingga saat ini masih menggunakan bahasa Belanda. Namun berbagai delik ataupun rumusan delik yang mengandung kolonialisme justru telah mereka hapuskan melalui UU No 1 Tahun 1946.

UU No 1 Tahun 1946 tidak hanya menghapus rumusan delik yang mengandung bibit kolonialisme akan tetapi juga. Menambahkan berbagai rumusan delik baru yang sesuai dengan keadaan Republik Indonesia di masa itu.

KUHP yang masih berbahasa Belanda tersebut juga setidaknya telah mereka amandemen melalui proses legislasi sebanyak 16 kali sejak 1946. Jika kita hitung dengan proses perubahan melalui putusan Mahkamah Konstitusi, maka KUHP yang masih berbahasa Belanda tersebut telah melakukan perubahan setidaknya sebanyak 22 kali.

Berbagai perubahan dalam KUHP tidak melakukan berdasarkan misi dekolonisasi, karena sudah selesai mereka lakukan, akan tetapi lebih banyak akan kita lakukan untuk adaptasi, demokratisasi, dan modernisasi hukum pidana agar sesuai dengan perkembangan jaman.

Karena itu, patut kita pertanyakan apakah Rancangan KUHP yang saat ini membahas oleh pemerintah masih mengandung misi dekolonisasi atau justru lebih banyak untuk misi alih bahasa? Bagaimanapun juga sampai saat ini, pemerintah tak pernah sedikitpun menetapkan terjemahan resmi berbahasa Indonesia atas KUHP yang masih secara resmi berbahasa Belanda. Alhasil, membaca sebagian besar aturan RKUHP seperti membaca terjemahan resmi dari KUHP yang saat ini resminya berbahasa Belanda dan sedikit bahasa Indonesia.

Demokratisasi Memperbarui Arah Politik

Selain misi dekolonisasi, R KUHP juga merancang untuk memenuhi misi demokratisasi. Misi demokratisasi ini sebenarnya baru muncul dalam Naskah Akademik yang lahir belakangan setelah Rancangan KUHP resmi mereka serahkan kepada Menteri Kehakiman pada 1993. Dalam pantauan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, naskah akademik RKUHP baru hadir pada 2005.

Akan tetapi demokratisasi hukum pidana semestinya tidak hanya melihat apakah rumusan hukum pidana mengikuti prinsip-prinsip pembentukan hukum pidana yang ketat namun juga harus meninjau dari sudut konstitusionalisme penyelenggaraan Negara.

Kesamaan dari KUHP dan RKUHP pada pokoknya adalah merancang dalam suatu sistem penyelenggaraan Negara yang amat sentralistik. Sehingga berbagai bentuk peristiwa hukum yang menampung dalam KUHP ataupun RKUHP mencerminkan sifat Negara yang amat sentralistik.

Misalnya pemidanaan terhadap orang yang membiarkan unggasnya yang berjalan – jalan melewati pekarangan orang lain. Meskipun ada kebutuhan hukum untuk mengatur mengenai hal ini, dalam konteks saat ini, pengaturan ini bisa kita letakkan dalam level Peraturan Daerah baik di tingkat provinsi ataupun di kabupaten.

UUD 1945 telah menekankan adanya desentralisasi dan otonomi daerah sebagai pengejewantahan demokratisasi, namun hal ini justru tidak tercermin dalam RKUHP. Pengaturan secara terpusat untuk peristiwa-peristiwa hukum pidana yang sebenarnya cukup mengatur di level peraturan daerah mencerminkan ketidak percayaan pemerintah pusat terhadap kemampuan pemerintahan daerah dan masyarakat di daerah untuk mengurus hidupnya sendiri.

Memperbarui Arah Politik sebuah upaya kolektif dari bangsa Indonesia, upaya pembentukan RKUHP tentu harus mengapresiasi. Namun sebagai sebuah bangsa yang mengedepankan prinsip Negara hukum dan juga desentralisasi. Kita juga harus mampu melihat kembali lebih jernih tentang kemana arah politik hukum pidana kita akan mereka letakkan.

Karena itu, mendekonstruksi ulang politik pembaruan hukum pidana dengan melibatkan sebanyak mungkin partisipasi masyarakat perlu kembali kita lakukan. Tak usah canggung apabila ternyata yang kita butuhkan adalah model pembaruan hukum pidana yang benar-benar baru dengan misi yang bisa jadi kita perbarui.