Ironi Sistem Peradilan Pidana Sebagai Faktor Penyebab Kejahatan

admin

Ironi Sistem Peradilan Pidana Sebagai Faktor Penyebab Kejahatan

Sistem Peradilan Pidana beberapa waktu belakangan ini ramai jadi perbincangan publik yang membicarakan tuntutan ringan Jaksa Penuntut Umum dalam Kasus Novel Baswedan dengan alasan para. Terdakwa “tidak sengaja” melukai mata korban. Tuntutan ini kemudian memantik begitu banyak diskusi di ruang-ruang publik yang mempersoalkan berbagai kejanggalan dalam kasus tersebut.

Sebelumnya, kita juga mendengar tindakan brutal seorang petugas. Kepolisian Minneapolis terhadap George Floyd, seorang pria kulit hitam yang mereka tuduh membeli rokok dengan uang kertas $20 palsu yang berujung kematian.

Kasus ini memantik kemarahan warga dunia dan gelombang protes anti rasisme bermunculan di berbagai negara seperti. Amerika Serikat, Selandia Baru dan Australia.

Tidak profesionalnya aparat penegak hukum dalam kedua kasus tersebut hanya satu dari sekian banyak persoalan yang muncul dalam peraturan peradilan pidana.

Ragam persoalan lain yang tidak kalah pelik adalah overkriminalisasi dan menurunnya wibawa hukum pidana,. Tujuan pemidanaan yang tidak jelas, disparitas pidana, kurangnya perhatian terhadap korban kejahatan, stigma sosial dan prisonisasi.

Bahasan singkat ini mencoba melihat berbagai persoalan yang muncul dalam. Beberapa sistem Peradilan Pidana secara umum yang menjadi salah satu faktor penyebab munculnya kejahatan.

Sistem Peradilan Pidana Sebagai Faktor Kriminogen

Berbagai peraturan Peradilan Pidana sebagai bagian dari politik kriminal atau kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidan. Pada prinsipnya bertujuan untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar tetap berada dalam batas-batas toleransi yang dapat kita terima.

Empat komponen utama dalam peraturan peradilan pidana adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Yang kita harapkan saling terintergrasi dan berkoordinasi satu sama lain dalam rangka mencapai tujuan dari peraturan peradilan pidana tersebut.

Persoalan yang kemudian muncul adalah peraturan peradilan pidana yang kita harapkan mampu menanggulangi kejahatan. Kerap kali justru menjadi penyebab munculnya kejahatan itu sendiri (faktor kriminogen).

Efektivitas dari peraturan peradilan pidana akan sangat tergantung pada banyak hal dan salah satunya tentunya adalah profesionalisme aparat penegak hukum. Tidak profesionalnya aparat penegak hukum akan berimplikasi pada banyak hal. Mulai dari berkurangnya dugaan tindak pidana yang dapat terdekteksi (hidden criminal). Terutama dalam kaitannya dengan high profile crime, munculnya mafia peradilan sampai dengan terjadinya penyiksaan selama proses hukum berjalan.

Berikutnya, overkriminalisasi (crisis of overreach of criminal law) sebagai situasi ini bagi kami terlalu banyak perbuatan yang mereka rumuskan. Sebagai tindak pidana (kriminalisasi) juga menjadi persoalan lain dalam Sistem Peradilan Pidana.

Kecermatan para pembentuk hukum dalam melakukan kriminalisasi menjadi satu persoalan sentral agar jangan sampai daya paksaan psikis hukum pidana dan wibawanya mengalami penuruna sehingga malah menjadi tidak efektif dalam menanggulangi kejahatan.

Sementara itu, teori pemidanaan mengalami perkembangan mulai dari tujuan pemidanaan yang sifatnya pembalasan (retributif).

Sehingga penjatuhan pidana akan mereka pandang sebagai penderitaan/nestapa yang harus mereka berikan pada pelaku kejahatan (backward looking). Bergeser menjadi tujuan pemidanaan yang sifatnya menimbulkan efek jera (deterrence), dan saat ini mulai bergeser menuju tujuan pemidanaan yang sifatnya rehabilitatif.

Tujuan Pemidanaan

Tujuan pemidanaan ini menjadi penting untuk dirumuskan secara tegas dalam undang-undang agar tidak menimbulkan keragu-raguan dan perbedaan penerapan hukum sebagai implikasi dari perbedaan persepsi masing-masing. Penegak hukum dan tentunya agar tujuan Sistem Peradilan Pidana tersebut dapat tercapai.

Persoalan lain yang juga muncul adalah disparitas pidana, yaitu penerapan pidana yang berbeda-beda terhadap pelaku tindak pidana yang sama. Pelaku tindak pidana yang berbeda-beda tetapi berat ringan ancaman pidananya dapat kita perbandingkan atau terhadap pelaku peserta tindak pidana.

Situasi ini juga menjadi faktor yang dapat mengurangi penghargaan baik pelaku maupun masyarakat terhadap pengadilan sebagai bagian dari Sistem Peradilan Pidana karena penjatuhan putusan yang kami anggap tidak adil.

Selanjutnya, dalam Sistem Peradilan Pidana, hak dan kewajiban korban mereka serap habis atau akan mereka ambil alih negara dan akan mereka jalankan oleh aparat negara (polisi, jaksa dan hakim) sehingga sesungguhnya korban tidak punya banyak peran, padahal korban adalah pihak yang paling mengalami kerugian sebagai akibat dari terjadinya suatu tindak pidana.

Ketika upaya untuk memperkuat prinsip due process of law dalam menjalankan Sistem Peradilan Pidana demi menjamin hak-hak Tersangka terus kita lakukan, korban kerap kali luput dari perhatian (kurangnya perhatian terhadap korban kejahatan).

Hal paling buruk yang dapat menimpa korban adalah secondary victimization sehingga korban kejahatan menjadi korban untuk kedua kalinya sebagai akibat dari bekerjanya Sistem Peradilan Pidana yang tidak berorientasi pada kepentingan korban.

Apa itu Stigmatisasi?

Stigma sosial adalah persoalan berikutnya. Dalam labelling theory yang kita kenal dalam Kriminologi, penyebab orang menjadi kriminal untuk yang kedua kalinya (secondary deviant) adalah karena mereka pernah kita beri stigma atau label “jahat” oleh Sistem Peradilan Pidana dan masyarakat secara luas.

Mereka menerima criminal self-image terhadap diri mereka dan akhirnya makes a commitment to criminal career karena keberadaan mereka tidak akan masyarakat terima.

Stigmatisasi atau labelling ini sering kita sebut reactive definition of crime karena kejahatan tidak sendirinya menjadi signifikan, namun justru reaksi sosial atasnyalah yang jauh lebih penting dalam menentukan pandangan individu pada diri mereka sendiri dan tingkah laku berikutnya.

Persoalan terakhir yang tidak kalah kompleks adalah prisonisasi. Penjara sebagai sistem sosial tersendiri dengan proses sosialisasi yang berlangsung di dalamnya. Apabila tidak kami pantau dan tidak bisa mereka imbangi dengan program pembinaan yang baik akan menimbulkan kontaminasi perilaku yang cenderung menghasilkan recidivist. Kita menemukan banyak fakta bahwa kejahatan justru terjadi karena di balik Lembaga Pemasyarakatan sebagai bagian dari Sistem Peradilan Pidana. Kita mengenal istilah prison as school of crime.

Sistem Peradilan Pidana Perlu Terus Menerus Berbenah

Realita bahwa Sistem Peradilan Pidana tidak melulu menyelesaikan masalah namun justru sebaliknya malah dapat menimbulkan masalah baru mengingatkan kita bahwa sejatinya politik kriminal atau kebijakan penanggulangan kejahatan tanpa menggunakan hukum pidana (non penal). Mempunyai kedudukan yang sangat strategis yang harus lebih kita optimalkan.

Kebijakan yang lebih menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan). Sebelum kejahatan terjadi ini menjadi penting karena meliputi bidang yang sangat luas di seluruh sektor kebijakan sosial. 

Optimalisasi kebijakan non penal ini tentu bukan dalam rangka menghapuskan Sistem Peradilan Pidana. Namun untuk menjadi pengingat bahwa persoalan kejahatan tidak akan pernah bisa kita selesaikan hanya dengan mengandalkan Sistem Peradilan Pidana belaka.

Disisi lain, Sistem Peradilan Pidana harus terus berbenah. Sistem Peradilan Pidana dengan paradigma keadilan restoratif yang merumuskan tujuan pemidanaan sebagai upaya penyelesaian konflik yang ada dalam masyarakat.

Pengembangan alternatif pidana perampasan kemerdekaan usaha untuk memberikan perhatian terhadap korban kejahatan melalui pedoman pemidanaan sampai dekriminalisasi. Terhadap pelanggaran ringan perlu kita bahas secara lebih serius.