Hal-Hal yang Tidak Dibahas di Kelas Hukum Pidana

admin

Hal-Hal yang Tidak Dibahas di Kelas Hukum Pidana

Pertama, tulisan ini banyak mengandung bocoran dari sebuah film berjudul “The Shawshank Redemption” karya Frank Darabont. Kedua, tulisan ini tidak berusaha memberikan tinjauan atas film, tetapi refleksi terhadap pengajaran hukum, terutama hukum pidana, dari medium film sebagai representasi. Ketiga, tulisan ini berusaha dapat dibaca dan revelan bagi semua orang, terutama yang tidak berkuliah hukum atau alergi dengan segala hal yang berbau hukum.

Isu film yang berhubungan dengan hukum

Film ini dipilih karena sebagai sebuah karya, ia menempati peringkat teratas IMDB, sebuah portal pemberi peringkat untuk produk layar. Film ini meraih rating 9,3 dari skala 10 meskipun sudah dirilis sejak 25 tahun lalu. Untuk itu, film yang diangkat dari novel pendek berjudul “Rita Hayworth and Shawshank Redemption” karya Stephen King ini tetap perlu (setidaknya menarik) untuk ditonton sekalipun terlepas dari isu-isu yang berhubungan dengan hukum.

1. Pembuktian adalah soal argumentasi

Film yang dirilis pada 1994 ini diawali dengan adegan persidangan dimana seorang bankir cemerlang bernama Andy Dufresne (Tim Robbins) didakwa membunuh istrinya sendiri yang kepergok berselingkuh. Ia tidak dapat menjelaskan mengapa istrinya terbunuh dan tidak berhasil membuktikan dirinya bukanlah pembunuhnya. Singkat cerita, ia dihukum seumur hidup untuk sesuatu yang tidak ia lakukan semata karena ia tidak berhasil membuktikan sebaliknya.

Di perkuliahan hukum, kita akan belajar soal tujuan ideal dari hukum pidana yaitu mencari kebenaran objektif atau materil. Artinya, mencari kebenaran yang sebenar-benarnya. Lebih dari sekadar kebenaran formal atau prosedural. Pihak yang bertugas untuk membuktikan bukanlah si tertuduh melainkan penuduh. Ini berangkat dari sebuah adagium bahwa pihak yang menuduhlah yang wajib membuktikan tuduhannya.

Namun, realita tidak selalu berjalan demikian. Dalam praktik, si tertuduh seringkali diberikan beban untuk melakukan pembuktian. Apabila tidak berhasil melakukannya, maka ia sangat berpeluang untuk dipersalahkan. Persoalan besarnya adalah situasi ini berkaitan dengan akses terhadap keadilan.

Bisa bayangkan jika Anda dituduh melakukan kesalahan secara hukum dan wajib membuktikan jika Anda tidak bersalah. Bagaimana jika Anda tidak punya daya untuk memiliki penasehat hukum Dan dari semua ketimpangan itu, Anda akan dipersalahkan jika tidak mampu menghadirkan pembuktian yang kuat?

Oleh karena itu, pada realitanya, pembuktian tidak berkaitan dengan pencarian kebenaran sejati atau sebenar-benarnya. Pembuktian adalah soal kontestasi antar argumentasi. Siapa pihak yang bisa menghadirkan argumentasi yang lebih mantap dan meyakinkan, maka ia akan menjadi pihak yang diuntungkan. Sebaliknya, di tengah semua ketimpangan yang ada, apabila ia tidak berhasil melakukannya, maka kebersalahan dapat menjadi konsekuensinya.

2. Penjara adalah tempat pengasingan

Pada fase berikutnya, terdapat adegan wawancara seorang terpidana bernama Red (Morgan Freeman) dengan panel (semuanya lelaki) yang memutuskan permohonan pembebasan bersyarat. Pertanyaan yang diajukan:

“Apakah Anda sudah merasa “terperbaiki” di lembaga pemasyarakatan ini?”

Red menjawab,

“Ya, dengan jujur saya merasa bahwa saya adalah pribadi yang berubah. Saya tidak lagi berbahaya bagi masyarakat. Demi Tuhan, saya menyampaikan yang sebenarnya”.

Ia berulang kali menghadapi wawancara seperti ini. Berulang kali pula diberi pertanyaan serupa. Berulang kali pula memberikan jawaban yang persis sama. Dan, berulang kali pula berujung dengan penolakan.

Adegan ini membawa kita pada sebuah tren dalam hukum pidana yang lebih dari perdebatan soal formalitas. Sebuah tren yang diberi nama oleh Sebastian Scheerer (2000) dengan manajerialisme. Ia mendapatkan ide ini dari gagasan filsuf Perancis, Gilles Delleuz (1990) tentang control society. Bahwa pada tren manajerialisme, yang terpenting adalah menjauhkan persoalan-persoalan masyarakat dari masyarakat itu sendiri.

Dengan ide ini, titik perhatian bukan lagi pada penghukuman melainkan kontrol. Bukan lagi pada kebersalahan melainkan penekanan resiko dari perbuatan. Di sini, konsepsi moralitas mengenai benar atau salah tidak lagi menjadi penting. Berbeda dengan tren penal populism (John Pratt: 2016), misalnya, yang menempatkan sentimen moralitas dan ketakutan sebagai bagian penting dari hukum pidana.

Bagian yang terpenting dari tren ini adalah menjadikan situasi tertentu lepas dari persoalan meskipun jalannya menjauhkan (termasuk pelaku kejahatan). Upaya untuk mengatasi masalah itu tidak terlalu penting atau menjadi tujuan sekunder.

Oleh karena itu, penjara atau lembaga pemasyarakatan bukanlah tempat untuk “membina” seorang pelaku kejahatan agar ia di kemudian hari dapat bergabung lagi dengan masyarakat (re-integrasi). Penjara dari pandangan tren ini adalah tempat untuk melokalisasi pelaku kejahatan sebagai persoalan agar jauh dari masyakarat. Peluang atau harapan untuk pembebasan bersyarat atau remisi misalnya menjadi tidak relevan meskipun pelaku kejahatan berkelakuan baik.

3. Pelaku kejahatan adalah stigma

Pengertian stigma berbeda dengan pelabelan (labelling). Stigma adalah pengurangan atau pembebasan kemampuan untuk terasosiasi dengan lingkaran sosial tertentu. Artinya, Anda tidak “cocok” berada pada kekerabatan sosial tertentu karena kapasitas individu yang Anda emban.

Dari film ini, kita dapat melihatnya melalui pengalaman seorang kakek tua yang sudah sangat nyaman menjadi kepala perpustakaan di dalam lembaga pemasyarakatan. Brooks (James Whitmore) adalah nama kakek tua itu, yang tidak menyangka akan mendapat pembebasan bersyarat. Dengan demikian, ia segera “menghirup udara bebas” di luar lembaga pemasyarakatan dengan bergabung bersama masyarakat.

Alih-alih senang bukan kepalang. Ia sangat cemas. Ia merasa tidak mampu untuk menjalani kehidupan. Ia ketakutan. Dan, ia tidak mau kompromi terlalu lama. Dengan segera ia menggantung dirinya sendiri dengan sebelumnya menuliskan surat yang begitu manis.

Representasi ini menunjukkan realita bahwa proses “perbaikan” atau “rehabilitasi” atau “pembinaan” bagi pelaku kejahatan itu bukan proses mekanik. Ia bukan soal memasukkan input tertentu, diproses (dihukum), dan keluar dengan ouput yang baru. Pelaku kejahatan tidak bisa (susah) terlepas dari stigma (inkapasitas) sosial. Terlebih ketika fokus hanya diarahkan pada proses dan bukan pasca pembinaan di lembaga pemasyarakatan.

Persoalan ini pada level terendah menghasilkan potensi keberulangan (residivis), baik dengan kejahatan serupa atau berbeda. Pada level tertinggi, potensi seperti yang dialami Brooks dengan mengakhiri hidupnya bisa jadi kenyataan meskipun belum ada penelitian yang memadai yang menunjukkan fenomena itu (setidaknya di Indonesia).

APa itu stigma atau inkapasitas?

Stigma atau inkapasitas ini terjadi bukan hanya karena ciri yang melekat pada individu pelaku kejahatan. Namun, melekat pada sentimen masyarakat secara sadar atau tidak. Pertanyaan yang cukup mengganggu tetapi dapat menguji seberapa besar stigma itu juga melekat di diri kita masing-masing: bagaimana jika kamar sebelah Anda dihuni oleh mantan narapidana pembunuh berantai? Apakah Anda akan tetap atau segera pindah pada kesempatan pertama?

Film ini berakhir dengan Andy yang berhasil kabur dari penjara dengan memperdaya Kepala Lembaga Pemasyarakatan dan sipir yang korup. Ia kemudian pergi ke suatu tempat di ujung Pasifik. Andy mengirimkan surat beserta sejumlah uang kepada Red yang berhasil mendapatkan pembebasan bersyarat dengan mengubah jawabannya menjadi seakan tidak peduli jika permohonannya ditolak atau diterima.

Pun dengan tulisan ini yang berakhir dengan surat Andy kepada Red bahwa harapan adalah sesuatu yang baik, mungkin yang terbaik, dan sesuatu yang baik tidak akan mati. Barangkali kita bisa tidak bersepakat dengan Andy. Namun, tentu tidak terlalu baik untuk berharap hal-hal demikian dibahas di kelas hukum pidana, bukan?