Keadilan Transisi masih dalam suasana memperingati “Tragedi Mei 98” –yang menandai awal bergulirnya proses transisi ke demokrasi, saya ingin mengingatkan kita kembali pada satu agenda reformasi yang mulai kita lupakan, yaitu merealisasi ‘transitional justice’ (‘keadilan transisi’).
Agenda ini merupakan bagian sangat krusial dari proses konsolidasi demokrasi di negara yang mengalami transisi, yakni untuk memastikan agar “the Rule of Law” kembali menjadi tatanan kehidupan bernegara.
Apa Itu Keadilan Transisi?
Apa itu ‘keadilan transisi’? Istilah ini di awal reformasi begitu sering kita dengar, meski kita tidak sepenuhnya memahami apa yang mereka maksud dengan istilah tersebut dengan clear. Tapi secara politik, pada saat itu, publik seakan-akan sudah memahami istilah ini.
Aktivis hak asasi manusia, intelektual publik, dan politisi begitu intensif mewacanakan istilah ‘keadilan transisi’ itu. Sebetulnya apa yang dimaksud dengannya? Untuk itu, saya mengacu pada pengertian yang telah Prof. Ruti G Teitel rumuskan yaitu: “conception of justice associated with period of political change, characterized by legal responses to confront the wrongdoing of repressive predecessor regimes”.
Respon Hukum Terhadap Kekerasan Oleh Rezim Politik
Respon hukum atas situasi transisi tersebut sangat tergantung pada tipe transisi politik di suatu negara. Posisi hukum dalam konteks ini memang tidak biasa. Kalau pada situasi normal, posisi hukum lebih pada menjaga ketertiban dan stabilitas.
Tapi sekarang, pada masa rezim politik belum terkonsolidasi, hukum juga memungkinkan adanya tranformasi, yaitu menghadirkan keadilan pada jeda waktu transisi itu. Hukum melampaui peran tradisionalnya, yang kita sebut Prof Teitel sebagai “transitional jurisprudence”.
Lalu bagaimana persisnya bentuk respon hukum itu? Ternyata bentuknya tidak hanya berupa mengefektifkan sarana hukum pidana, yaitu dengan mengadili pelaku pelanggaran HAM yang berat (individual prosecutions). Tetapi melampaui sarana tersebut, hukum juga meresponnya dalam bentuk sarana-sarana seperti “truth seeking” (pencarian kebenaran), “reparations” (pemulihan), “institusional reform” (reformasi institusi), dan “vetting and dismissals” (pensiun dini).
Serangkaian proses yang luas ini, yang menunjukkan bagaimana suatu masyarakat menghadapi masa lalunya, merupakan upaya untuk memastikan tegaknya tanggungjawab negara, sekaligus juga membuka jalan bagi rekonsiliasi.
Strategi Keadilan Transisi
Strategi ‘keadilan transisi’ itu pernah kita mulai. Makanya kita melahirkan “anak kembar” reformasi, yaitu UU Pengadilan HAM dan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Tetapi, sayang sekali, proses ini Mahkamah Konstitusi berhentikan.
MK membatalkan salahsatu dari bagian penting ‘keadilan transisi’, yaitu UU KKR. Ketika UU Pengadilan HAM kehilangan kembarannya, maka tidak terelakkan terjadi kemacetan dalam upaya kita menyelesaikan bagian-bagian gelap masa lalu negara ini. Kasus-kasus yang sudah meereka selidiki oleh Komnas HAM hanya menjadi pengisi lemari penyimpan berkas di Kejaksaan Agung.
Memperingati Tragedi Mei 98
Dalam memperingati “Tragedi Mei 98” tidak ada salahnya kita melihat kembali salah satu agenda reformasi yang belum tuntas dikerjakan, yaitu penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.
Jangan membiarkan masalah ini seperti tidak ada jalan penyelesaiannya. Atau kita biarkan menthok! Kita perlu mempertimbangkan kembali strategi ‘keadilan transisi’ untuk menjawab kemandegan selama ini. Maka terhadap hasil penyelidikan Komnas HAM. Baik itu penyelidikan pro-justisia atas Tragedi Mei 98 maupun kasus Trisakti, Semanggi I & II, harus kembali kita buka dengan serius.
Harus ada komitmen pada kalangan penyelenggara hukum menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat itu. Tidak bisa kita biarkan mengambang seperti sekarang.
Strategi ‘keadilan transisi’ dengan demikian masih sangat kita perlukan. Tidak ada waktu terlambat menghadirkan kembali ‘keadilan sebagai jalan untuk memenuhi pertanggungjawaban.