Sebelum membahas film 12 Angry Men, saya ingin berterima kasih untuk semua tanggapan terhadap bahasan Hal – hal yang tidak dibahas dalam Kelas Hukum Pidana dan bahasan lainnya. Terima kasih juga untuk yang mengajukan (kata yang lebih moderat dari request) film-film untuk dibahas dan dikaitkan dengan berbagai situasi sosial. Tentu ini bukan sekadar penyemangat, tetapi juga beban dan tanggung jawab.
Semoga bahasan ini dan bahasan lainnya mendapatkan tempat di sanubari Anda. Dan, karena saya tidak sedang menerima Oscar, maka lebih baik saya fokus lanjut menulis. Sekali lagi, bahasan ini berpotensi mengandung bocoran.
Film yang paling banyak diajukan adalah 12 Angry Men. Film berdurasi kurang lebih 95 menit ini tampaknya cukup familiar dan “wajib” untuk “anak-anak hukum”, selain Devil’s Advocate.
12 Angry Men
Karya Sidney Lumet yang diproduksi pada 1957 ini bercerita tentang sistem juri di Amerika Serikat. Dua belas laki-laki dari berbagai latar belakang terpilih sebagai juri dan ditempatkan dalam satu ruangan untuk memutuskan apakah seorang terdakwa berusia 18 tahun bersalah dalam satu kasus pembunuhan. Saya agak terganggu, mengapa semuanya laki-laki?
Pada awalnya, semua juri berpendapat bahwa benar terdakwa bersalah, kecuali satu juri: juri nomor 8. Argumentasi awalnya cukup halus dengan meragukan keputusan yang terlalu cepat diambil. Kemudian beranjak pada keraguan terkait keterangan dua saksi dan barang bukti pisau yang diajukan penuntut umum. Awal yang cukup halus ini berubah menjadi ketegangan seiring suhu ruangan yang semakin gerah.
Ruangan yang panas, perdebatan pun menjadi ganas. Untuk menghindari bocoran lebih dalam, langsung saja pada hasil akhirnya: semua juri memutuskan terdakwa tidak bersalah.
Film ini tentu tidak sekadar dapat dimaknai dari sistem pembuktian yang berbeda antara Indonesia dengan Amerika Serikat, seperti yang sering diajarkan di kelas hukum acara pidana. Bukan pula sekadar bagaimana sistem juri bekerja di Amerika Serikat dan kritik terhadapnya seperti tulisan yang tersebar di berbagai jurnal.
Namun, membawa pada pertanyaan-pertanyaan penting mengenai apa makna kebenaran jika demikian? Bagaimana mungkin “kebenaran” yang sudah diputuskan mayoritas (dalam film ini oleh 11 juri) bisa saja bukan “kebenaran”? Bagaimana mungkin “kebenaran” satu orang dapat menjadi “kebenaran” yang sesungguhnya?
1. Makna kebenaran
Sepuluh tahun setelah film itu dirilis, Hannah Arendt meluncurkan salah satu tulisannya yang paling terkemuka di The New Yorker berjudul “Truth and Politics” (1967). Tentu film dan tulisan Hannah Arendt tidak berhubungan. Tulisan Hannah lebih ditujukan untuk mengkritik penciptaan “kebenaran” oleh aktor politik sebagai strategi propaganda, terutama dengan latar belakangnya yang direpresi oleh Nazi.
Pada awal tulisannya, ia langsung menghantam adagium yang akrab di dunia hukum dan peradilan “fiat iustitia, et pereat mundus” (biarlah keadilan terjadi meski dunia binasa). Secara kontroversial ia mengajukan mengapa bukan “fiat veritas, et pereat mundus”. Veritas disini bermakna kebenaran.
Ia mengajukan pembagian tiga kriteria kebenaran: kebenaran filosofis, kebenaran rasional, dan kebenaran faktual. Dalam tulisan ini, saya ingin mengajukan kebenaran faktual sebagai titik pembahasan.
Bagi Hannah Arendt, kebenaran faktual selalu ada. Misalnya, dalam film 12 Angry Men, kebenaran faktualnya ada seseorang yang tewas karena tusukan pisau. Namun, apakah benar secara faktual ia meninggal karena perbuatan orang lain? Apakah benar terdakwa pelakunya secara faktual?
Kebenaran faktual meski selalu ada, ia sangat rentan. Sebabnya kebenaran faktual bergantung kepada peristiwa, keadaan, dan sangat berkaitan dengan bagaimana ia diterima oleh orang lain (inter-subjektif). Karena ia rentan, maka ia gampang dibelokkan menjadi ketidakbenaran, kebenaran dalam versi yang berbeda, atau sekadar opini.
Bagaimana jika kriteria kebenaran ini dibawa pada latar pembuktian di pengadilan?
2. Kebenaran materil
Secara terterima, tujuan dari pembuktian secara hukum adalah menjadi kebenaran materil atau kebenaran objektif atau kebenaran yang sebenar-benarnya. Setidaknya saya, tidak pernah diajarkan apa makna dan kriteria dari “kebenaran yang sebenar-benarnya” itu dan bagaimana mendekatinya.
Oleh karena itu, pandangan saya kriteria kebenaran ini dalam konteks hukum acara pidana didekati oleh kriteria dan kualitas bahan-bahan pembuktian. Mulai dari bukti permulaan yang cukup, bukti yang cukup, hingga alat bukti dan keyakinan hakim. Fakta hukum adalah fakta yang didukung oleh bahan pembuktian.
Dengan demikian, keputusan bergantung pada abilitas atau kemampuan para pihak untuk mempresentasikan “kebenarannya”. Di titik ini, persoalan bisa menjadi serius karena ketidaksetaraan sumber daya dan posisi. Soal sumber daya, misalnya, tidak semua terdakwa punya akses untuk penasehat hukum, terutama yang dapat memberikan pembelaan yang berkualitas.
Saat ini, terdapat gagasan untuk memperketat kriteria bahan pembuktian dan penilaian terhadapnya. Pada awalnya beyond reasonable doubt sebagai prinsip minimum kemudian bergeser menjadi without any possible doubt dan terkini objective truth. Salah satu dorongan pengetatan ini datang dari gerakan abolisionis yang menentang penghukuman yang kejam (punitif) sebagai respons atas “kejahatan” (konflik).
3. Kebenaran Faktual
Dalam konteks peradilan, menjadi pertimbangan serius, kebenaran apa sebenarnya yang diperiksa? Dan jika ada kebenaran yang diperiksa, benarkah ia merupakan kebenaran faktual yang terungkap atau kebenaran yang dibangun dari bahan-bahan pembuktian semata? Benarkah ini menjadi bermakna bagi keyakinan hakim?
Ketika kebenaran faktual rentan dan keyakinan hakim bersifat terkonstruksi dan subjektif, maka ini menjadi sinyal gugatan terhadap proses pembuktian di pengadilan. Asas bahwa seseorang tidak bersalah hingga terdapat kondisi sebaliknya sebenarnya sudah cukup sebagai pegangan minimum. Meski kondisi aktual yang kerap ditemui sebaliknya: seseorang dianggap bersalah sampai ada kondisi yang menyatakan sebaliknya.
Pertanyaan-pertanyaan soal kebenaran ini semoga tidak sekadar pertanyaan kontemplasi. Namun, menjadi garis awal untuk mempertanyakan ulang hasrat penghukuman yang masih kental atau penghukuman itu sendiri. Terutama untuk penghukuman yang tidak bisa dikembalikan pada keadaan semula, seperti hukuman mati.
Benar seperti kata juri nomor 8: “Sebentar, kita bicara soal hidup seseorang di sini” dan “Kita tidak dapat memutuskannya dalam waktu lima menit. Bagaimana jika kita salah?”